Selasa, 11 November 2014

KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH PEMBANGUNAN

KEMISKINAN JAWA TENGAH PERIODE TAHUN 2008-2012

oleh :
Cintami Rahmawati
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan 
Universitas Diponegoro
Terimakasih untuk Agus Winarendra atas bahan materi ini


BAB I

Kemiskinan merupakan masalah utama dalam pembangunan. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan bersifat multidimensional. Di Indonesia, dinamika kemiskinan tiada henti mewarnai kehidupan masyarakat sejak masa orde baru hingga saat ini. Pada masa orde baru, langkah utama pemerintah dalam memperbaiki stabilitas fundamental makroekonomi telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan (Zain, 2010).
Persebaran penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan proporsi sebesar 55 persen. Hal ini mengingat Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia. Ditinjau secara administrasif, Pulau Jawa terbagi menjadi 6 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Banten. Selanjutnya apabila melihat 5 tahun terakhir, rata-rata tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 16,92 persen.      
      
Provinsi
Tingkat Kemiskinan

2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
DKI Jakarta
4,29
3,62
3,48
3,75
3,69
3,76
Jawa Barat
13,01
11,96
11,27
10,65
10,09
11,39
Jawa Tengah
19,23
17,72
16,56
15,76
15,34
16,92
DI Yogyakarta
18,32
17,23
16,83
16,08
16,05
16,90
Jawa Timur
18,51
16,68
15,26
14,23
13,40
15,62
Banten
8,15
7,64
7,16
6,32
5,85
7,02
Sumber : BPS Statitistik Nasional berbagai tahun
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2008 hingga 2012 tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan secara berangsur-angsur yaitu sebesar 19,23 persen di tahun 2008 menjadi 15,34 persen di tahun 2012. Meski demikian tingkat kemiskinan di Jawa Tengah masih tergolong hard core (>10 persen), yang mengindikasikan belum optimalnya upaya pemerintah daerah dalam mengimplementasikan serangkaian kebijakan guna mengentaskan kemiskinan. Berkaitan dengan hal itu, maka perlu diketahui faktor-faktor yang berkontribusi mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Tengah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang dibutuhkan guna mereduksi tingkat kemiskinan di suatu daerah. Pernyataan ini turut didukung dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan, salah satunya oleh Sumarto (dalam Kuncoro, 2006) yang menyatakan bahwa adanya suatu relasi negatif (trade-off) yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Gambar 1.1 menunjukkan kecenderungan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah turut diikuti dengan semakin kecilnya angka kemiskinan selama 2008-2012.









Sumber : BPS Jawa Tengah berbagai tahun, diolah
Adanya perbedaan kualitas sumber daya manusia yang ditentukan tingkat pendidikan, baik pendidikan rendah maupun tinggi keduanya merupakan faktor yang mampu mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Melalui investasi pendidikan, kualitas sumber daya manusia dapat terbentuk, apakah mencetak sumber daya manusia yang tergolong rendah atau berkualitas, keduanya dapat tercerminkan dari tingkat produktivitas.


Tahun
SD ke bawah
(Jiwa)
SLTP
(Jiwa)
SLTA +
(Jiwa)
2008
9 367 374
2 798 160
3 298 124
2009
9 457 640
2 893 843
3 483 899
2010
9 173 558
2 993 593
3 642 296
2011
9 135 874
3 048 208
3 732 053
2012
9 013 849
3 061 738
4 057 303
                   Sumber : BPS Jawa Tengah berbagai tahun
 Tabel 1.2 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk kerja di Jawa Tengah didominasi pendidikan terakhir SD kebawah. Selama kurun waktu 2008 hingga 2012 jumlah kumulatif penduduk kerja tamatan SD ke bawah dan SLTP mengalami fluktuasi dengan proporsi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah cenderung mengalami penurunan.
Rendahnya produktivitas yang salah satunya disebabkan tingkat kesakitan yang semakin memburuk, turut andil dalam mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Kondisi kesehatan yang semakin buruk berdampak pada lembahnya fisik yang selanjutnya berimplikasi pada penurunan kapasitas kerja dan akhirnya berujung pada rendahnya pendapatan yang diperoleh.
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa angka kesakitan masyarakat Jawa Tengah mengalami penurunan secara berangsur-angsur sejak tahun 2008 hingga 2012 yaitu, sebesar 59,7 persen di tahun 2008 menjadi  47,4 persen di tahun 2012.

Tahun
Angka Kesakitan (%)
2008
59,7
2009
50,9
2010
50,5
2011
48,3
2012
47,4
Sumber : BPS  Jawa Tengah berbagai tahun

Faktor lain yang diklaim mampu mengentaskan permasalahan kemiskinan adalah kredit modal. Apabila meneropong keberhasilan konsep Grameen Bank yang dicetuskan oleh Muhammad Yunus pada pertengahan 1970-an, memberikan bukti konkrit bahwa melalui pemberian kredit yang ditujukan kepada kaum miskin, mampu mentransformasikan simbol kemiskinan menjadi simbol harapan menuju kesejahteran (Todaro,2006).  
Tabel 1.4 memperlihatkan selama kurun waktu 2008 sampai 2012, jumlah kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) atas penggunaan modal kerja mengalami peningkatan, yaitu sebesar 28.738.234 juta rupiah di tahun 2008, menjadi 43.668.152 juta rupiah di tahun 2012.

Di Jawa Tengah Tahun 2008 - 2012
Tahun
Kredit Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
Atas Penggunaan Modal Kerja (Juta Rupiah)
2008
28.738.234
2009
31.179.408
2010
35.893.711
2011
37.305.817
2012
43.668.152
        Sumber : Bank Indonesia Wilayah V (Jawa Tengah) berbagai tahun

1.2 Perumusan Masalah      
Selama 5 tahun terakhir tingkat kemiskinan di Jawa Tengah mengalami penurunan secara berangsur-angsur yaitu sebesar 19,23 persen di tahun 2008 menjadi 15,34 persen di tahun 2012. Meski demikian tingkat kemiskinan di Jawa masih tergolong hard core (> 10 persen) yang besar kemungkinan akan memperlambat proses pembangunan ekonomi di Jawa Tengah. Ironisnya, Bappeda telah menargetkan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah menyentuh angka 8,75 persen pada tahun 2015.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini akan membahas :
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?
2.  Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?
3. Bagaimana pengaruh tingkat kesahatan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?
4.   Bagaimana pengaruh kredit modal terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?


BAB II
LANDASAN TEORI



2.1.1.1 Definisi Kemiskinan
            Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan standar minimum (Kuncoro, 2006). Hal senada turut diutarakan Todaro (2006) yang mengemukakan bahwa cakupan kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
2.1.1.2 Penyebab Kemiskinan
1.      Menurut World Bank 2003 (dalam Sholeh 2009), penyebab dasar kemiskinan adalah :
a.    Kegagalan kepemilikan teutama tanah dan modal.
b.    Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana.
c.    Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
d.   Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung.
e. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern).
f. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat.
g. Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya.
h. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance).
i. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
2.      Kemudian Sharp, et al (dalam Kuncoro, 2006) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi :
a. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
b.    Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia.
c.    Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Ketiga faktor penyebab kemiskinan yang dikemukan oleh Sharp, et al bermuara pada teori lingkaran kemiskinan (Vicious Circle of Poverty). Nurkse mengatakan bahwa ‘a poor country is poor because it is poor' (negara miskin itu miskin karena dia memang miskin). Gambar 2.1 menggambarkan lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse.


 


                                               

Rounded Rectangle: Investasi Rendah

Rounded Rectangle: Produtivitas Rendah
Rounded Rectangle: Tabungan Rendah

Rounded Rectangle: Pendapatan Rendah
 







Sumber: Kuncoro (2006)
Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Oleh karena itu, setiap usaha memerangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini (Kuncoro, 2006)
         Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Kuznets dalam Todaro, 2006). Selanjutnya diikuti Sukirno (2011) yang mendifinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah. Adapun beberapa faktor yang mepengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu :
1.      Akumulasi modal (capital accumulation), akumulasi modal dapat diperoleh apabila sebagian pendapatan yang diterima saat ini dan dialokasikan untuk ditabung dan diinvestasikan dengan tujuan meningkatkan output dan pendapatan di masa depan.
2.      Angkatan kerja, apabila angkatan kerja tersedia dalam jumlah yang lebih besar, berarti tersedia juga lebih banyak pekerja produktif, dan jumlah penduduk yang besar akan meningkatkan ukuran potensial pasar domestik.
3.      Kemajuan teknologi (technological progress), diartikan sebagai metode baru untuk meningkatkan output serta mencapai tingkat efisiensi.
Mengacu pada teori trickle down effect yang menjelaskan bahwa, berawal dari pertumbuhan ekonomi yang semakin mapan maka berimplikasi pada peningkatan kesempatan kerja atau peningkatan upah, dan pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin (Tambunan, 2011).
Umumnya kualitas sumber daya manusia di negara-negara sedang berkembang masih tergolong rendah yang dicerminkan dari tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah (Suryana, 2000). Menurut Ansel M. Sharp, salah satu penyebab kemiskinan adalah kualitas sumber daya manusia yang rendah, yang diakibatkan oleh tingkat pendidikan yang masih rendah. Tingkat pendidikan rendah berimplikasi pada produktivitas yang rendah, sehingga diikuti pula rendahnya pendapatan yang diperoleh (Setiawan,2011). Berdasarkan bukti-bukti empiris yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang lebih tinggi dapat membantu mempercepat pembangunan ekonomi (Suryana, 2000).
         Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Todaro (2006) mengemukakan 3 alasan penting peran pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan :
1.      Kesehatan merupakan hal yang sentral dalam mengentaskan kemiskinan, karena masyarakat sering kali kurang mendapat informasi mengenai kesehatan akibat kemiskinan.
2.      Rumah tangga mengeluarkan dana yang terlalu sedikit untuk kesehatan karena mereka mengabaikan eksternalitas (masalah penularan penyakit).
3.      Pasar akan berinvestasi terlalu sedikit pada infrastrukur kesehatan dan penelitian serta pengembangan, dan transfer teknologi ke negara berkembang, karena kegagalan pasar. Apabila pembangunan kesehatan berhasil, maka status kesehatan akan mengalami peningkatan, yang dicerminkan menurunnya angka morbiditas, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Seiring peningkatan produktivitas maka berimplikasi pada peningkatan pendapatan masyarakat yang diikuti pula pendapatan pemerintah. Akhirnya berujung pada peningkatan pembangunan nasional di seluruh bidang. Kondisi kesehatan yang buruk di negara-negara berkembang berakibat negatif terhadap produktivitas orang dewasa, yang ditunjukkan bahwa orang-orang yang sehat menerima upah yang lebih tinggi (Todaro, 2006). Selanjutnya, Nurkse menambahkan pula bahwa, kesehatan yang semakin buruk akan mengakibatkan lemahnya fisik yang selanjutnya menurunkan kapasitas kerjanya. Akibatnya penghasilan yang diperoleh turut rendah (Jhinggan, 1983).

  
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1992 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Modal adalah seluruh asset yang dimiliki perusahaan yang bertujuan untuk menghasilkan output guna memperoleh pendapatan
            Kemiskinan berawal dari kurangnya modal yang dapat diakses untuk melakukan kegiatan usaha. Akibatnya produktivitasnya rendah dan berdampak pada rendahnya pendapatan. Selanjutnya berimplikasi pada ketidakmampuan menyisihkan pendapatannya untuk ditabung. Tabungan yang rendah menyebabkan investasi rendah dan akhirnya mengakibatkan kekurangan modal. Oleh karena itu langkah yang dapat diambil guna menanggulangi kemiskinan adalah dengan memberikan bantuan pinjaman modal (Setiawan, 2011).  Hal senada turut diutarakan Yunus (dalam Todaro, 2006) mengatakan bahwa lemahnya akses untuk mendapatkan kredit bagi sebagian masyarakat miskin adalah salah satu penghambat utama kemajuan ekonomi mereka.



BAB III
PEMBAHASAN



         Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya kemjuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Kuznets dalam Todaro, 2006). Selanjutnya ditambahkan pula oleh  Sukirno (2011) yang mendifinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah.
No
Kabupaten/Kota
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
1
Kab. Cilacap
4,92
5,25
5,65
5,78
5,59
5,44
2
Kab. Banyumas
5,38
5,49
5,77
5,95
5,88
5,69
3
Kab. Purbalingga
5,30
5,61
5,67
6,03
6,26
5,77
4
Kab. Banjarnegara
4,98
4,92
5,25
5,80
3,94
5,03
5
Kab. Kebumen
5,80
3,94
4,15
4,23
5,47
4,72
6
Kab. Purworejo
5,62
4,96
5,01
5,02
5,04
5,13
7
Kab. Wonosobo
3,69
3,85
4,29
4,52
5,14
4,30
8
Kab. Magelang
4,99
4,72
4,51
4,27
5,84
4,87
9
Kab. Boyolali
4,04
5,16
3,60
5,28
5,66
4,75
10
Kab. Klaten
3,93
4,24
1,73
1,96
5,54
3,48
11
Kab. Sukoharjo
4,84
4,76
4,65
4,59
5,03
4,77
12
Kab. Wonogiri
4,27
4,73
5,87
2,24
5,89
4,60
13
Kab. Karanganyar
5,30
3,59
5,42
5,50
5,82
5,13
14
Kab. Sragen
5,69
6,01
6,09
6,53
6,60
6,18
15
Kab. Grobogan
5,33
5,03
5,05
3,59
6,16
5,03
16
Kab. Blora
5,62
5,08
5,19
2,59
5,00
4,70
17
Kab. Rembang
4,67
4,46
4,45
4,40
4,88
4,57
18
Kab. Pati
4,94
4,69
5,11
5,43
5,92
5,22
19
Kab. Kudus
3,92
3,78
4,17
4,21
4,33
4,08
20
Kab. Jepara
4,49
5,02
4,52
5,44
5,79
5,05
21
Kab. Demak
4,11
4,08
4,12
4,48
4,64
4,29
22
Kab. Semarang
4,26
4,37
4,90
5,56
6,02
5,02
23
Kab. Temanggung
3,54
4,09
4,31
4,65
5,04
4,33
24
Kab. Kendal
4,26
4,10
5,97
5,99
5,54
5,17
25
Kab. Batang
3,67
3,72
4,97
5,26
5,02
4,53
26
Kab. Pekalongan
4,78
4,30
4,27
4,77
5,32
4,69
27
Kab. Pemalang
4,99
4,78
4,94
4,83
5,28
4,96
28
Kab. Tegal
5,32
5,49
4,83
4,81
5,25
5,14
29
Kab. Brebes
4,81
4,99
4,94
4,97
5,21
4,98
30
Kota Magelang
5,05
5,11
6,12
5,48
6,51
5,65
31
Kota Surakarta
5,69
5,90
5,94
6,04
6,12
5,94
32
Kota Salatiga
4,98
4,48
5,01
5,26
5,73
5,09
33
Kota Semarang
5,59
4,70
    5,87
6,41
6,42
5,80
34
Kota Pekalongan
3,73
4,18
5,51
5,45
5,60
4,89
35
Kota Tegal
5,15
5,04
4,61
4,58
5,07
4,89
Sumber : BPS Jawa Tengah berbagai tahun
         Tabel 3.1 menunjukkan bahwa, pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten/ kota di Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan selama periode tahun 2008 sampai 2012. Apabila ditinjau dari besaran angka rata-rata pertumbuhan ekonomi, maka posisi teratas di tempati oleh Kabupaten Sragen sebesar (6,18 persen) yang kemudian diikuti Kota Surakarta sebesar (5,94 persen). Sedangkan tempat terbawah diisi oleh Kabupaten Klaten sebesar (3,08 persen) dan di atasnya terdapat Kabupaten Kudus sebesar (4,08 persen). 
         Para pakar ekonomi sepakat bahwa sumber daya manusia (human resources) dari suatu bangsa merupakan faktor yang paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi bangsa yang bersangkutan. Sedangkan modal fisik dan sumber daya alam hanya faktor produksi yang bersifat pasif, manusialah yang merupakan agen-agen aktif yang akan mengumpulkan modal, mengeksploitasikan sumber daya alam, membangun berbagai macam organisasi-organisas sosial, ekonomi dan politik, serta melaksanak`an pembangunan nasional (Santoso, 2006).
Sumber : BPS Jawa Tengah berbagai tahun
        
  Gambar 3.2 memperlihatkan rata-rata jumlah penduduk kerja berdasarkan pendidikan terakhir SD ke kebawah dan SLTP selama kurun waktu 2008 hingga 2012. Ditinjau dari rata-rata jumlah penduduk kerja berdasarkan pendidikan terahkir SD ke kebawah dan SLTP selama periode tahun 2008 hingga 2012, Kabupaten Brebes merupakan daerah tebesar yang memiliki jumlah penduduk kerja yang berpendidikan terahkir SD ke bawah dan SLTP, sedangkan Kota Magelang memiliki kondisi yang bekebalikan dengan Kabupaten Brebes.
Selanjutnya apabila ditinjau dari rata-rata jumlah penduduk kerja berdasarkan pendidikan terakhir SD ke bawah dan SLTP tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah, terlihat adanya perbedaan yang mencolok antara kabupaten dan kota yang ditunjukkan bahwa rata-rata penduduk kerja berdasarkan pendidikan terahkir SD ke bawah dan SLTP lebih besar berada di wilayah kabupaten dibanding kota. Hal ini mengingat adanya perbedaan struktur ekonomi yang diketahui wilayah kabupaten masih berada pada struktur ekonomi tradisional.
Gambar 3.3 memperlihatkan rata-rata jumlah penduduk kerja berdasarkan  pendidikan terahkir jenjang SLTA ke atas selama kurun waktu 2008 hingga 2012. Ditinjau dari rata-rata jumlah penduduk kerja berdasarkan pendidikan terahkir jenjang SLTA ke atas selama periode tahun 2008 hingga 2012, Kota Semarang merupakan daerah yang memiliki jumlah pekerja tamatan pendidikan SLTA ke atas terbesar di banding kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah. Hal ini mengingat Kota Semarang merupakan salah satu kota metropolitan serta menjadi ibu kota Jawa Tengah. Sedangkan daerah yang memiliki jumlah penduduk kerja tamatan pendidikan SLTA ke atas terendah berada berada di Kota Magelang.

Sumber : BPS Jawa Tengah berbagai tahun
        
         Kondisi kesehatan yang buruk di negara-negara berkembang berakibat negatif terhadap produktivitas orang dewasa, yang ditunjukkan bahwa orang-orang yang sehat menerima upah yang lebih tinggi (Todaro, 2006). Serangkaian upaya pemerintah Jawa Tengah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat telah diaplikasikan dengan cara mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang bermutu, mudah dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Adapun langkah langkah yang diimplementasikan meliputi puskesmas keliling, penugasan dokter/bidan di tiap kelurahan, perbaikan gizi keluarga, peningkatan kesehatan gizi ibu dan anak, imunisasi maupun penyediaan fasilitas air bersih (Profil Kesehatan, 2011).
Tabel 3.4
No
Kabupaten/Kota
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
1
Kab. Cilacap
71,6
54,8
53,3
48,2
50,3
55,64
2
Kab. Banyumas
64,5
55
60,6
66,4
63,3
61,96
3
Kab. Purbalingga
57,6
56,7
60,1
59,9
60,6
58,98
4
Kab. Banjarnegara
57,8
57,4
51,9
52,1
50,9
54,02
5
Kab. Kebumen
62,1
50,5
45,9
44,8
51,8
51,02
6
Kab. Purworejo
46,7
38,7
44,9
39,4
39,1
41,76
7
Kab. Wonosobo
59,9
42,5
43,6
38,8
34,5
43,86
8
Kab. Magelang
62
46,8
56,4
52
48,2
53,08
9
Kab. Boyolali
51,1
48,9
49,9
50,9
49,2
50
10
Kab. Klaten
46,8
43,7
39,9
44,9
44,9
44,04
11
Kab. Sukoharjo
61,8
51,1
33,9
35,6
29
42,28
12
Kab. Wonogiri
51,1
45,3
54
43,8
44,5
47,74
13
Kab. Karanganyar
54,7
26,9
31,3
26,2
26,7
33,16
14
Kab. Sragen
45,9
53
43,1
42,6
36
44,12
15
Kab. Grobogan
54,6
51,8
45
39,3
37,8
45,7
16
Kab. Blora
69,2
64,5
64
56,8
54,2
61,74
17
Kab. Rembang
57,9
55,2
59,2
61,8
56,8
58,18
18
Kab. Pati
47,2
57,7
59,3
55,6
55,9
55,14
19
Kab. Kudus
56,4
54,5
54,4
48,4
47,4
52,22
20
Kab. Jepara
46,6
76,3
62
65,7
71,8
64,48
21
Kab. Demak
69,3
62,4
63,8
52,6
49,6
59,54
22
Kab. Semarang
49,6
42,2
44,8
44,5
43,1
44,84
23
Kab. Temanggung
66,4
41,8
35,7
37,1
33,6
42,92
24
Kab. Kendal
60,5
41,9
41,4
46,2
44
46,8
25
Kab. Batang
58,7
57,5
71,2
61,5
50,8
59,94
26
Kab. Pekalongan
45,9
72,9
58,4
61,7
57
59,18
27
Kab. Pemalang
73,6
48,3
58,3
41,7
41
52,58
28
Kab. Tegal
62
57,7
51,1
52,2
56,8
55,96
29
Kab. Brebes
67,4
43,3
41
46
39,9
47,52
30
Kota Magelang
59,3
60,9
40,3
42,2
40,3
48,6
31
Kota Surakarta
44,2
27
34,1
42
43,1
38,08
32
Kota Salatiga
68
44,7
49,3
42,9
43,5
49,68
33
Kota Semarang
66,2
51,7
58,6
41,3
45
52,56
34
Kota Pekalongan
76,9
48,9
65,3
37,5
44,3
54,58
35
Kota Tegal
70,8
54,8
57,4
52,2
39,7
54,98
Sumber : BPS Jawa Tengah berbagai tahun 
         Tabel 3.4 menunjukkan bahwa serangkaian upaya yang dilakukan pemerintah daerah Jawa Tengah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat telah cukup berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan semakin rendahnya angka kesakitan hampir di seluruh kabupaten/kota Jawa Tengah selama periode tahun 2008 sampai 2012. Apabila ditinjau dari besaran rata-rata angka kesakitan di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah selama kurun waktu 2008 hingga 2012, daerah yang memiliki derajat kesehatan cukup baik di tempati oleh Karanganyar sebesar (33,16 pesen) dan selanjutnya diikuti oleh Kabupaten Surakarta sebesar (38,08 persen). Sedangkan daerah yang memiliki kondisi derajat kesehatan cukup buruk berada di kabupaten Jepara sebesar (64,48 persen) dan selanjutnya ditempati oleh kabupaten Banyumas sebesar (61,96 persen).
         Salah satu hambatan terbesar yang dihadapi kaum miskin adalah akses untuk mendapatkan kredit (Todaro, 2006). Hal senada turut diutarakan Nurkse yang menyatakan bahwa kemiskinan berawal dari kurangnya modal yang dapat diakses untuk melakukan kegiatan usaha, akibatnya produktivitas rendah dan pada gilirannya pendapatan turut rendah (Setiawan, 2011).
         Gambar 3.5 memperlihatkan rata-rata kredit UMKM atas penggunaan modal kerja di 35  kabupaten/kota Jawa Tengah selama periode tahun 2008 hingga 2012. Ditinjau dari besarnya rata-rata kredit UMKM atas penggunaan modal kerja selama periode tahun 2008 hingga 2012, Kota Semarang merupakan daerah penerima kucuran kredit dengan skala yang terbesar, sedangkan daerah yang menerima kredit dengan skala terkecil berada di Kabupaten Purbalingga

Sumber:Bank Indonesia (V) Jawa Tengah berbagai tahun




BAB IV
PENUTUP

4.1        Kesimpulan
1.            Pertumbuhan ekonomi yang semakin mapan maka berimplikasi pada peningkatan kesempatan kerja atau peningkatan upah, dan pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten/ kota di Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan selama periode 2008 sampai 2012.
2.            Investasi pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan, sehingga produktivitas meningkat. Meningkatnya produktivitas akan meningkatkan upah pekerja sehingga dengan upah tersebut dapat menuju kehidupan yang sejahtera. Sehingga  penting untuk pemerintah Jawa Tengah untuk meningkatkan program pro pendidikan.
3.            Kesehatan dapat mempengaruhi kapasitas kerja, jika kapasitas kerja terbatas maka upah yang didapat juga terbatas. Akibatnya penghasilan yang diperoleh turut rendah. Serangkaian upaya yang dilakukan pemerintah daerah Jawa Tengah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat telah cukup berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan semakin rendahnya angka kesakitan hampir di seluruh kabupaten/kota Jawa Tengah selama periode tahun 2008 sampai 2012.
4.            Kemiskinan berawal dari kurangnya modal yang dapat diakses untuk melakukan kegiatan usaha. Akibatnya produktivitasnya rendah dan berdampak pada rendahnya pendapatan. Lemahnya akses untuk mendapatkan kredit bagi sebagian masyarakat miskin adalah salah satu penghambat utama kemajuan ekonomi. Besarnya rata-rata kredit UMKM atas penggunaan modal kerja selama periode tahun 2008-2012, Kota Semarang merupakan daerah penerima kucuran kredit dengan skala yang terbesar, sedangkan daerah yang menerima kredit dengan skala terkecil berada di Kabupaten Purbalingga.
4.2        Saran
1.            Dibutuhkan intervensi pemerintah yang berpihak kepada kaum miskin seperti mengucurkan bantuan kepada usaha kecil di pedesaan ataupun melakuakan ekstensifikasi atau intensifikasi lahan pertanian.
2.            Program wajib belajar 12 tahun harus benar-benar dijalankan oleh Pemerintah. Selain itu pendidikan non-formal juga harus diberikan untuk masyarakat sehingga meningkatkan ketrampilan masyarakat.
3.             Adanya bantuan dibidang kesehatan seperti BPJS, imunisasi, serta pelayanan kesehatan yang mumpuni dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat khususnya bagi mereka yang kurang mampu atau miskin.
4.            Dibutuhkan peran lembaga keuangan baik yang dibentuk pihak pemerintah, swasta ataupun masyarakat yang memberikan kemudahan akses bagi masyarakat miskin untuk memperoleh kredit atau pinjaman dengan bunga yang tidak terlalu tinggi pula.




Badan Pusat Statistik. Data Jumlah dan Persentase Penduduk Miksin Indonesia
            2008-2012. Jakarta

_________________. Jawa Tengah Dalam Angka Berbagai Tahun Terbitan.  
            Jawa Tengah
_________________. 2011. Profil Kesehatan Jawa Tengah. Jawa Tengah
_________________.Pendapatan Domestik Regional Bruto Berbagai Tahun
            Terbitan. Jawa Tengah

Bank Indonesia. 2012. Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Tengah
Berbagai tahun. Jawa Tengah

Jhinggan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : Raja
            Grafindo Persada

Kuncoro,Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan : Teori, Masalah, dan
Kebijakan. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) STIM YKPN

Setiawan, Achma Hendra. 2011. Perekonomian Indonesia. Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro

Sholeh, Mainum. 2009. Kemiskinan:Telaah Dan Beberapa Strategi
            penanggulangannya. Dalam Jurnal Ekonomi. Yogyakarta :
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta

Sukirno, Sadono. 2011. Makroekonomi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Suryana. 2000. Ekonomi Pembangunan : Problematika dan Pendekatan. Jakarta :
             Salemba Empat

Suryawati, Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional.
              Dalam jurnal JPMK Vol 08 No. 03. Semarang : Universitas Diponegoro

Tambunan, Tulus. 2011. Perekonomian Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia

Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi.
            Jakarta:Erlangga

Zain, Machmoed. 2010. Reformasi Pengentasan Kemiskinan : dari pendekatan
          ekonomi ke pendekatan kesejahteraan.Dalam jurnal ilmiah volume 12, 
          Nomor 4 : 79-96. Surayabaya : Universitas Airlangga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar