Rabu, 26 November 2014

AUTOMOBILE AND HIGHWAYS (STUDI KASUS KOTA SEMARANG)



CINTAMI RAHMAWATI
RIANA FAUZIA SAPUTRI



BAB I


Dengan melihat dampak yang ditimbulkan akibat meluasnya penggunaan mobil maupun kendaraan pribadi, menyebabkan para perencana wilayah, khususnya perkotaan harus memperhitungkan dan mengatur serta mengendalikan penggunaan mobil di wilayah metropolitan. Apalagi, jumlah kecelakaan yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan pribadi semkin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk menganalisis dampak dari penggunaan kendaraan pribadi dan perluasan jalan raya untuk selanjutnya diambil kebijakan yang tepat sasaran untuk perencanaan wilayah dan perkotaan.
Kota Semarang sebagai Ibukota Propinsi Jawa Tengah terletak di pantai utara pulau Jawa, merupakan simpul yang berada pada lintasan antara Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur. Disamping berfungsi sebagai pusat kegiatan pengendalian pemerintahan Propinsi Jawa Tengah, juga sebagai salah satu kota perdagangan, industri, pendidikan dan kota wisata. Keadaan ini menyebabkan kegiatan masyarakat kota Semarang cukup tinggi, sehingga hal tersebut menimbulkan kegiatan transportasi yang cukup dinamis antara demand dan supply transportasi.
Sementara kegiatan lalu lintas berkembang, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas akan menjadi masalah di kota-kota besar seperti Semarang. Tingkat kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi menimbulkan kemacetan dibeberapa ruas jalan terutama didaerah pusat perdagangan, perkantoran, dan pendidikan yang melibatkan lalu lintas yang masuk, keluar ataupun melewati kota Semarang.




Pendekatan ekonomi terhadap eksternalitas adalah untuk melibatkan eksternalitas terhadap biaya dengan membebankan pajak sebesar biaya marjinal eksternal. 

Model sederhana dapat digunakan untuk menjelaskan eksternalitas kecelakaan dan mengevaluasi beberapa kebijakan akternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Berikut adalah karakteristik rute perjalanan di dalam area metropolitan:
·        Jarak
·        Biaya perjalanan
·        Biaya waktu
Biaya total dari setiap perjalanan adalah biaya perjalanan ditambah dengan biaya waktu yang tergantung pada berapa lama perjalanan tersebut berlangsung.
MATSON et.al (1955) menyatakan bahwa tingkat kecelakaan didasarkan pada :
  1. Populasi (kecelakaan per 100.000 penduduk)
  2. Kendaraan yang terdaftar (kecelakaan per 10.000 kendaraan)
  3. Kendaraan–km (kecelakaan per 10^6 kendaraan–km)
Selain itu, upaya untuk mengurangi kemacetan lalu lintas telah diatur di dalam regulasi. Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Pasal 283 menyebutkan:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).”
Sementara pada Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang No.22 Tahun 2009 sendiri berisi:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.”
            Berikut adalah data kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang.

Tabel 2.1 Jumlah Kejadian Laka Lalulintas Bulan januari-Maret  Tahun 2013
No
Bulan
Jumlah Kejadian
MD
Luka Berat
Luka Ringan
Materi
1.
Januari
69
13
13
59
Rp 34.950.000
2.
Februari
66
17
9
73
Rp 73.950.000
3.
Maret
91
22
3
109
Rp 124.550.000

Jumlah
226
52
25
241
Rp 223.450.000
Sumber: Polrestabes Semarang, 2013

Berdasarkan Tabel 2.1, dapat dilihat bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang cenderung meningkat dari bulan Januari hingga Maret 2013. Bahkan kecelakaan tersebut juga menimbulkan biaya yang tidak sedikit dan cenderung mengalami kenaikan setiap bulannya. Oleh karena itu, kecelakaan menimbulkan suatu biaya yang sia-sia atau merugikan bagi masyarakat sehingga perlu kebijakan dan peraturan untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat kecelakaan lalu lintas. 

Langkah pertama adalah dengan menentukan sisi permintaan akan perjalanan dan digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Eksternalitas Kecelakaan dan Pajak kemacetan
10_03
Sumber: O’Sullivan (2007)

Keseimbangan antara permintaan dan eksternalitas dari perjalanan kota ditunjukkan pada Gambar 2.1. Berdasarkan Gambar 2.1, keseimbangan antara penggunaan kendaraan pribadi dengan transportasi umum berbeda. Pada titik i, orang akan cenderung menggunakan kendaraan pribadi karena biaya perjalanan menjadi lebih rendah dengan jumlah kendaraan lebih besar, yaitu sebanyak 1600 kendaraan dan cenderung mengakibatkan kemacetan. Untuk mengurangi kemacetan tersebut, maka terdapat biaya yang harus dibayarkan berupa biaya perjalanan sosial (social trip cost) melalui pajak sehingga kendaraan pribadi menjadi berkurang dan mengurangi kemacetan. Akan tetapi, keadaan tersebut mengurangi manfaat marjinal mereka sehingga mereka lebih cenderung menggunakan jalan raya dengan kendaraan pribadi.
Berdasarkan data dari Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Tengah, jumlah kendaraan bermotor di kota Semarang adalah sebagai berikut: 

Tabel 2.2 Jumlah Kendaraan Pribadi Tahun 2008-2012
No.
Tahun
Roda Dua
Roda Empat
Total
1
2008
66.921
17.893
84.814
2
2009
67.279
18230
85.509
3
2010
77.373
20.517
97.890
4
2011
65.436
22.392
87.828
5
2012
63.700
24.080
87.780
Sumber: Direktorat Latu Lintas, Polda Jawa Tengah

Dari tahun ke tahun jumlah kepemilikan kendaraan bermotor pribadi terus meningkat. Berdasarkan tabel diatas, tercatat sebanyak 84.814 untuk kendaraan roda dua dan empat di tahun 2008 meningkat hingga 87.780 di tahun 2012. Hal ini menunjukan bahwa jumlah kendaraan bermotor pribadi meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Makin besar kegiatan ekonomi maka akan meningkatkan mobilitas manusia maupun barang. Peningkatan mobilitas harus diimbangi dengan infrastruktur yang memadai agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih lanjut. Infrastruktur disediakan oleh pemerintah karena pasar yang tidak dapat mengadakanya. Infrastruktur berupa barang atau jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak untuk peningkatan efisiensi dalam kegiatan ekonomi. Maka dari itu, infrastruktur dapat dikategorikan sebagai barang publik.
Peningkatan jumlah dan mobilitas masyarakat yang tidak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai akan menimbulkan masalah transportasi. Masalah tersebut berbentuk kemacetan yang akan menimbulkan ketidak efisiensian dalam perekonomian. Kemacetan akan menimbulkan beberapa dampak buruk seperti ketidak lancaran arus barang, inefisiensi waktu bagi para pekerja, jumlah kecelakaan yang meningkat, pemborosan bahan bakar, polusi udara, dan lain-lain.
Berdasarkan Gambar 2.1, kita dapat mengetahui perbedaan antara biaya perjalanan swasta dan sosial. Biaya perjalanan sosial merupakan hasil dari biaya swasta ditambah dengan biaya eksternal. Ketika tidak ada kemacetan, biaya eksternal sebesar nol, sehingga biaya sosial sama dengan biaya swasta yang ditunjukkan pada titik i. Akan tetapi, ketika kemcetan terjadi, biaya sosial menjadi naik atau melebihi biaya swasta sehingga keseimbangan menjadi e.
Terdapat beberapa alternatif dalam definisi biaya sosial dan swasta. Biaya perjalanan swasta adalah biaya per supir sehingga kita dapat menyebutnya sebagai biaya rata-rata perjalanan. Di sisi lain, biaya perjalanan sosial adalah biaya sosial yang berhubungan dengan kendaraan tambahan, sehingga dapat disebut sebagai biaya marjinal perjalanan.
Yang dimaksud dengan jumlah kendaraan ekuilibrium  dapat dilihat pada Gambar 2.1. Seseorag akan menggunakan jalan raya jika keinginannya untuk membayar perjalanan tersebut lebih besar dari biaya perjalanan swasta. Kurva permintaan pada gambar di atas memotong biaya swasta pada titik i, menunjukkan bahwa jumlah ekulibrium adalah 1600 kendaraan dan biaya ekuilibrium perjalanan adalah 4,33 dolar. Pada jumlah 1600 kendaraan, keinginan untuk membayar lebih besar daripada biaya perjalanan swasta sehingga mereka menggunakan jalan raya.
Di sisi lain, Gambar 2.1 juga menjelaskan volume optimum dari penggunaan kendaraan. Prinsip marjinal dapat digunakan untuk mengidentifikasi jumlah efisein kendaraan secara sosial. Berdasarkan prinsip marjinal, kita dapat meningkatkan tingkat aktivitas hingga manfaat sosial marjinal sama dengan biaya sosial marjinal. Tidak ada eksternalitas positif pada perjalanan, sehingga kurva permintaan menunjukkan manfaat sosial dari perjalanan. Biya sosial marjinal ditunjukkan dengan kurva biaya perjalanan sosial pada Gambar 2.1. Kurva permintaan berpotongan dengan kurva biaya sosial pada titik e, sehingga volume optimum adalah 1400 kendaraan. Pada jumlah kendaraan 1400, manfaat sosial perjalanan lebih besar daripada biaya sosial sehingga penggunaan jalan efisien secara sosial.
Jumlah ekuilibrium melebihi jumlah optimum karena setiap pengendara menolak biaya kecelakaan yang dibebankan pada orang lain. Tambahan kendaraan akan memperlambat lalu lintas, sehingga memaksa pengendara lain untuk menghabiskan waktu lebih lama di jalan raya. 

Solusi sederhana untuk mengatasi masalah kemacetan adalah dengan menggunakan pajak kemacetan untuk menginternalisasi eksternalitas. Pajak kemacetan meyakinkan bahwa para pembuat keputusan menghadapi biaya sosial secara penuh dari perjalanan sehingga jalan raya dapat digunakan secara efisien. 

Manfaat dari adanya pajak kemacetan adalah sebagai berikut:
·       Mengurangi biaya waktu. Pajak akan mengurangi kemacetan sehingga perjalanan menjadi lebih cepat.
·     Pajak pendapatan lebih rendah. Pemerintah dapat menggunakan pajak kemacetan untuk mengurangi jenis pajak lain. 

Setelah mempelajari manfaat dari pajak kemacetan di atas, kita dapat mengetahui bahwa pajak kemacetan dapat meningkatkan efisiensi perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Kita dapat menggunakan kurva utilitas untuk menunjukkan implikasi dari pajak kemacetan untuk pertumbuhan perkotaan. Pada kasus ini, suatu kota yang mengimplementasikan pajak kemacetan akan tumbuh pada pengeluaran di kota-kota lain dalam regional tersebut. 

Gambar 2.2 Pajak Kemacetan Menyebabkan Pertumbuhan
10_04
Gambar 2.2 menunjukkan dampak yang ditimbulkan dari pajak kemacetan terhadap pertumbuhan perkotaan. Kurva di atas menunjukkan kurva utilitas antara dua kota. Apabila suatu kota mengimplementasikan pajak kemacetan dan menggunakan pajak tersebut untuk memotong pajak pendapatan, maka kurva utilitas akan naik. Hal tersebeut disebabkan oleh adanya pajak kemacetan dapat mengurangi disekonomis dari ukuran kota. Disekonomis berupa suara, polusi, dan kemacetan sebagai akibat kenaikan populasi, menarik kurva utilitas ke bawah seiring pertumbuhan kota. Pengurangan pajak mempengaruhi kurva kepuasan dengan dua cara:
·      Kurva mempunyai slope positif seiring pertumbuhan populasi karena agolomerasi ekonomi mendominasi disekonomi seiring pertumbuhan penduduk yang semakin besar
·   Ketika kurva utilitas menjadi negatif, slope tersebut tidak begitu curam. Pada saat itu, disekonomi lebih lemah, yang berarti bahwa kepuasan menurun lebih lambat seiring populasi meningkat. 

Sesuai dengan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa pajak kemacetan akan memicu efisiensi dan pertumbuhan kota. Pada bagian ini, akan dibahas beberapa isu praktek pajak kemacetan yang terjadi melalui beberapa pertanyaan di bawah ini:
1.      Bagaimana pajak kemacetan sempurna berubah seiring waktu?
2.      Seberapa besar pajak kemacetan?
3.      Pengalaman apa yang didapatkan suatu kota dengan menerapkan harga perjalanan kota?

Pajak kemacetan sama dengan gap antara biaya swasta dan biaya sosial dari perjalanan. Berikut gambar yang menunjukkan puncak dari waktu-waktu perjalanan

Gambar 2.3 Pajak Kemacetan Selama Periode Puncak versus Penurunan
10_05
Sumber: O’Sullivan (2007)
Pada Gambar 2.3, kurva permintaan relatif tinggi selama periode puncak sehingga meningkatkan selisih antara biaya swasta dan sosial perjalanan yang ditunjukkan pada titik p dan q sehingga menimbulkan pajak kemacetan lebih tinggi. Selama periode minimum, selisih antara biaya swasta dan sosial rendah yang ditunjukkan pada titik r dan s, sehingga pajak kemacetan lebih rendah.

Berdasarkan Studi Sugiharto (2013), Semarang perlu menerapkan pajak progresif sebesar 13,4 persen sebagai salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan. Berdasarkan hasil penelitiannya, pajak progresif kendaraan dapat secara efektif mengurangi kemacetan lalu lintas di Jalan Siliwangi Kota Semarang. Pembebanan pajak progresif sebesar 13,4 persen dapat berjalan efektif jika dilakukan pada cara yang tepat dan tidak ada pihak yang melakukan kecurangan, khususnya pada pemerintah. 

Di Kota Semarang, belum ada penerapan pajak kemacetan secara resmi untuk jalan raya umum. Solusi yang digunakan untuk mengurangi kemacetan diantaranya; (1) menerapkan tarif parkir yang lebih tinggi untuk kendaraan pribadi khususnya mobil, (2) membersihkan badan jalan dari parkir liar, (3) membangun jalan seperti Fly Over seperti yang dibangun dari Jalan Siliwangi menuju wilayah Semarang Barat, serta (4) membangun jalan-jalan tol khusus bagi kendaraan roda 4 dengan tarif sebagai berikut:

Tabel 2.3 Tarif Tol Semarang
Sumber: Jasamarga.com

Jalan Tol Semarang adalah satu-satunya jaringan jalan tol yang berada di Semarang Propinsi Jawa Tengah yang merupakan bagian dari jaringan jalan umum yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di kota Semarang, terutama lalu lintas yang hanya lewat kota Semarang (lalu lintas menurun) dan untuk meningkatkan pemerataan dan efisiensi biaya operasional dan waktu tempuh.
Jaringan Jalan Tol Semarang terdiri dari tiga seksi yaitu :
  1. Seksi A adalah ruas jalan Krapyak–Jatingaleh sepanjang 8.000 km, dengan tipe jalan dua lajur dua arah, lebar perkerasan 2 Ñ… 3,5 meter dan dioperasikan sejak tahun 1987.
  2. Seksi B adalah ruas jalan Jatingaleh–Srondol sepanjang 6.000 km, dengan tipe jalan empat jalur dua arah, lebar perkerasan 2 (2 Ñ… 3,5) meter dioperasikan sejak tahun 1983.
  3. Seksi C adalah ruas jalan Jangli–Kaligawe (Pelabuhan) sepanjang 10.000 km, dengan tipe jalan empat jalur dua arah, lebar perkerasan 2 (2 Ñ… 3,5) meter dioperasikan sejak tahun 1997.
Beberapa kebijakan untuk mengurangi kemacetan telah dianjurkan. Sebelum mengetahui kebijakan alternatif dari pajak kemacetan, perlu dipertimbangkan 4 cara bagaimana pajak kemacetan mengurangi volume lalu lintas:
1.        Substitusi modal. Pajak meningkatkan biaya perjalanan seorang pengendara relatif terhadap area parkir mobil, dan transportasi massal (bus, subway, dan kereta), menyebabkan beberapa pengguna jalan beralih ke moda transportasi lain.
2.        Waktu perjalanan. Pajak kemacetan menjadi paling tinggi saat periode puncak, menyebabkan pengguna jalan beralih ke waktu yang berbeda. Karena jadwal kerja dan sekolah secara relatif tidak fleksibel, komuter dan pelajar cenderung tidak akan mengganti waktu perjalanan. Sedangkan, perusahaan akan mempunyai insentif untuk merubah jadwal kerja untuk mengijinkan pekerjanya menghindari perjalanan mahal selama periode puncak.
3.        Rute perjalanan. Pajak kemacetan tertinggi adalah pada rute macet, menyebabkan beberapa pengguna jalan beralih ke rute alternatif.
4.        Pilihan lokasi. Pajak kemacetan meningkatkan biaya unit perjalanan, sehingga menyebabkan beberapa komuter mengurangi jarak komuter mereka. Beberapa pekerja mungkin akan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan tempat kerjanya, dan yang lainnya kemungkinan akan mengalihkan pekerjaannya ke tempat yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Beberapa alternatif kebijakan untuk mengurangi kemacetan yang dapat disarankan adalah:
1.      Pajak bensin
2.      Subsidi untuk transportasi umum
3.      Menghilangkan subsidi parkir

Bagian ini akan membahas bagaimana pemerintah yang membebankan pajak kemacetan dapat menggunakan peraturan sederhana untuk menentukan lebar jalan. Jika total penerimaan dari pajak kemacetan melebihi biaya dari pembangunan jalan, pemerintah harus memperlebar jalan. Lebar jalan optimum meningkat seiring dengan penerimaan pajak kemacetan untuk membayar jalan tersebut. 

Penerapan kebijakan tersebut memerlukan suatu latar belakang pada komponen yang berbeda dari biaya perjalanan dan jalan raya. Gambar 2.4 menunjukkan dua kurva biaya, satu untuk jalan dua jalur, kedua untuk jalan empat jalur. Sekilas, Gambar 2.4 terlihat seperti spageti yang tidak teratur, tetapi terdapat suatu logika pada kurva tersebut. 

Gambar 2.4 Kapasitas Meluas Seiring Penerimaan Pajak Kemacetan Sama dengan Biaya Jalan
10_06

ATC pada Gambar 2.4 merupakan biaya total rata-rata (average total costi). Ketika volume lalu lintas meningkat, terdapat dua konflik yang mempengauhi biaya total rata-rata:
·         Penurunan pada biaya jalan rata-rata. Biaya pembangunan dari jalan dua jalur adalah tetap, dan semakin besar volume, maka semakin rendah biaya jalan per kendaraan.
·         Kenaikan biaya perjalanan pribadi. Ketika ambang kemcetan dilalui, maka biaya perjalanan pribadi meningkat.
Kurva ATC berbentuk U karena penurunan pada biaya jalan rata-rata terjadi pada volume kecil, tetapi biaya perjalanan yang meningkat terjadi pada volume yang lebih besar. Unsur penting lain dari kurva ATC adalah baha selisih antara ATC dan biaya perjalanan pribadi merupakan biaya jalan rata-rata (biaya tetap rata-rata).
Kurva biaya untuk jalan empat jalur menunjukkan manfaat dari pembangunan jalan dengan kapasitas yang lebih besar. Kurva ATC 4 jalur mencapai minimum pada volume yang dua kali lebih besar dari volume jalan 2 jalur. Selain itu, biaya perjalanan pribadi tetap horisontal seiring dengan penambahan volume dua kali lipat, serta lebih rendah untuk semua volume. Begitu halnya dengan kurva biaya sosial dimana kurva biaya sosial jalan 4 jalur lebih rendah daripada kurva untuk jalan dua jalur. Meskipun demikian, biaya jalan empat jalur menjadi dua kali lebih banyak untuk dibangun.
Keseimbangan jalan dua jalur ditunjukkan pada titik i selama pemerintah mengenakan pajak kemacetan dengan volume lalu lintas V2. Pajak kemacetan ditunjukkan oleh selisih antara biaya perjalanan sosial (titik i) dengan biaya perjalanan pribadi (titik k). Biaya jalan rata-rata ditunjukkan oleh selisih antara kurva biaya total rata-rata (titik j) dengan biaya perjalanan pribadi (titik k). Pajak kemacetan per kendaraan melebihi biaya jalan per kendaraan, yang berarti bahwa penerimaan pajak kemacetah melebihi biaya pembangunan jalan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemacetan yaitu percampuran pergerakan lokal dengan pergerakan antar kota, kapasitas jaringan jalan yang tidak sepadan dengan intensitas pergerakan dan kapasitas jaringan jalan dalam kota yang tereduksi (Nugroho, 2009). Tingkat kepadatan lalulintas di Kota Semarang dapat dilihat pada tabel 1.2. V/c ratio menggambarkan perbandingan antara volume kendaraan dan kapasias jalan. Semakin mendekati 1 nilai v/c ratio maka semakin padat lalulintas.

Tabel 2.3 Tingkat Kepadatan Lalulintas di Kota Semarang
Berdasarkan Tingkat Pelayanan Jalan (Level of Service)
No
Ruas Jalan
Volume
Kapasitas
V/c Rasio
(smp/jam)
Kategori
1
Jl. Kaligawe
5176,25
5750,16
0,900
E
2
Jl. Teuku Umar
4714,65
5928,00
0,795
D
3
Jl. Siliwangi
5347,25
7610,80
0,703
D
4
Jl. MT Haryono
2922,80
4167,82
0,701
D
5
Jl. Gajahmada
3726,90
5397,89
0,690
C
6
Jl. Jendral Sudirman
5133,25
7907,33
0,649
C
7
Jl. Bridjen Sudiarto
5199,00
8006,17
0,639
C
8
Jl. Imam Bonjol
3090,40
5015,09
0,618
C
9
Jl. MH Tamrin
3264,30
5337,70
0,612
C
10
Jl. Soegijopranoto
5161,75
8525,09
0,605
C
11
Jl. Veteran
1918,80
3331,17
0,594
B
12
Jl. Dr Cipto
2356,80
5568,08
0,423
B
13
Jl. Raya Boja
1271,35
3046,16
0,417
B
14
Jl. Pemuda
2745,30
6635,08
0,414
B
15
Jl. Kompol Maksum
1613,55
4461,60
0,362
B
16
Jl. Setiabudi
3765,40
6015,09
0,626
C
17
Jl Perintis Kemerdekaan
3169,95
6015,09
0,527
C
18
Jl. Raya Walisongo
4141,10
6320,80
0,650
C
19
Jl. Dr Soetomo
2407,25
5015,09
0,480
C
Sumber : Dinas Perhubungan Kota Semarang (2006)
Keterangan :
0,0-0,19 : Kategori A : Arus bebas, volume rendah, kecepatan tinggi
0,20-0,44 : Kategori B : Arus stabil dan mulai ada pembatasan kecepatan
0,45-0,69 : Kategori C : Arus stabil kenyamanan berkendara turun dan pergerakan dibatasi
0,70-0,84 : Kategori D : Arus mendekati tidak stabil, kecepatan mulai terganggu oleh kondisi jalan
0,86-100,00: Kategori E : Terjadi kemacetan lalulintas

Semakin tinggi V/c ratio suatu ruas jalan maka semakin rendah pula tingkat pelayanan yang dimiliki oleh jalan tersebut serta tingkat kepadatannya makin tinggi. Berdasarkan tabel 2.3 ruas jalan yang memiliki kepadatan tertinggi adalah jalan Kaligawe yang memiliki nilai v/c ratio sebesar 0,9 dengan kategori E. Dengan demikian pada ruas jalan kaligawe terjadi kemacetan lalulintas. Sedangkan jalan Teuku Umar memiliki nilai v/c ratio sebesar 0,795 dengan kategori D. Menghindari permasalahan transportasi dirasa sangat penting direncanakan karena memiliki dampak yang merugikan. Menurut Tamin (2000), masalah lalulintas atau kemacetan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pemakai jalan, terutama dalam hal pemborosan waktu, pemborosan bahan bakar, pemborosan tenaga dan rendahnya kenyamanan berlalulintas serta meningkatnya polusi baik suara maupun polusi udara. Sedangkan menurut Basuki (2009), kerugian paling dasar dari kemacetan lalulintas adalah kerugian akan waktu tempuh, yaitu adanya pemborosan bahan bakar sehingga adanya kenaikan biaya operasi kendaraan. Kerugian ini berupa bertambahnya biaya operasional kendaraan yang semestinya tidak perlu dikeluarkan apabila kecepatannya bisa mencapai kecepatan desain perencanaan. Untuk menghindari permasalahan transportasi maka harus dipikirkan sejak dini untuk menciptakan sistem transportasi yang baik. Pembenahan jalan, rambu-rambu jalan, serta pengadaan alat transportasi masal yang baik harus direncanakan dengan matang. Alat transportasi masal ditujukan untuk mengurangi kepadatan jalan. Dibarengi dengan kebijakan yang baik maka sistem alat transportasi masal akan menyerap para pengguna kendaraan pribadi dengan beralih menggunakan alat transportasi masal.
Penerimaan yang berlebih dari pajak kemacetan merupakan sinyal kepada pemerintah untuk membangun jalan lebih luas. Untuk menambah kapasitas, pemerintah dapat menambah dua jalur, membuat menjadi 4 jalur. Keseimbangan baru ditunjukkan pada titik e, dimana biaya perjalanan sosial memotong kurva permintaan. Pajak kemacetan ditunjukkan selisih antara e dan f. Selisish tersebut juga merupakan gap  antara ATC jalan 4 jalur atau biaya jalan rata-rata dengan biaya perjalanan pribadi. Dengan kata lain, untuk jalan 4 jalur, pajak kemacetan sama dengan biaya jalan rata-rata, sehingga penerimaan pajak cukup untuk membayar jalan. Orang-orang yang menggunakan jalan membayar seluruh biaya pembangunan jalan tersebut.
Aturan kapasitas membuat pemerintah perlu untuk memperlbar jalan pada titik dimana penerimaan pajak kemacetan sama dengan biaya pembangunan jalan. Selain itu, dalam hal keadilan dan persamaan (pembayar penggunaan jalan), peraturan tersebut meningkatkan lebar jalan efisien secara sosial. 

Ada banyak peristiwa tentang jalan raya yang tidak mengurangi pajak setelah adanya pelebaran jalan. Alasannya adalah bahwa permintaah untuk perjalanan periode puncak sangat elastis. Banyak pengguna jalan menghindari untuk menggunakan jalan yang macet karena perjalanan sangat lambat. Tetapi, ketika jalan diperlebar dan perjalanan menjadi lebih cepat, mereka yang beralih dari kecepatan lambat mulai menggunakan jalan tersebut. Fenomena tersebut disebut sebagai permintaah Tersembunyi. Small (1992) mengungkapkan bahwa ada istilah “tentara cadangan dari yang tidak terpenuhi” yang akan beralih ke jalan macet yang sebelumnya secepat peningkatan kecepatan perjalanan akibat kenaikan kapasitas. Permintaan tersebut akan mengisi sebagian atau seluruh kapasitas selama periode puncak. 

Penggunaan pajak kemacetan untuk membayar jalan muncul dengan alasan persamaan dan efisiensi. Di Kota Semarang tarif pajak jalan dikenakan bagi pengguna jalan tol. Besar tarif ditentukan berdasarkan golongan kendaraan, sesuai yang terlampir pada Tabel 2.3. 

Penggunaan kendaraan pribadi menyebabkan dua macam eksternalitas lingkungan, yaitu polusi udara dan gas rumah kaca. Kendaraan bermotor mengeluarkan senyawa organik volatil (VOC), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2). VOC bereaksi dengan NOx di dalam atmosfer membentuk Ozon dan juga menimbulkan benda-benda khusus. Kualitas udara yang buruk dapat menimbulkan masalah pernapadan dan menyebabkan kematian prematur. Kendaraan juga dapat meningkatkan gas rumah kaca yang berperan terhadap perubahan iklim.
Pendekayan ekonomi terhadap polusi udara adalah menginternalisasi eksternalitas. Suatu pajak yang sama dengan biaya eksternal marjinal dari polusi akan menyebabkan pengendara menggabungkan biaya penuh dari keputusan berkendara, sehingga mengarah pada tingkat efisien sosial dari polusi. Pajak polusi akan mendorong orang untuk membeli mobil yang lebih bersih dan berkendara lebih dekat. Pendekatan langsung adalah dengan memasang alat monitor di setiap mobil untuk mengukur emisi dan mengenakan biaya kepada pemilik atas emisi yang telah dihasilkan. 

Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan pajak bensin untuk meningkatkan biaya perjalanan pribadi. Pajak tersebut akan meningkatkan biaya setiap mil yang dikendarai, sehingga akan mengurangi total mil jarak yang dikendarai dan mengurangi polusi udara. Masalah dari pajak bahan bakar adalah bahwa setiap pengendara akan mebayar pajak yang sama per galon, tidak peduli berapa banyak polusi yang ditimbulkan per galon bensin. Oleh karena itu, pajak bensin akan menurunkan polusi melalui pengurangan jarak mil yang dikendarai tetapi tidak akan mendorong orang untuk mengendarai mobil yang lebih bersih. Tentu saja jika standar emisi yang ditetapkan oleh pemeritah mengakibatkan perbedaan yang relatif kecil dalam emisi per galon setiap model mobil, kurangnya insentif untuk membeli mobil yang lebih bersih akan kurang dari sebuah isu.

Gambar 2.5 Efek Pasar dari Pajak Bensin
10_07
Sumber: O’Sullivan (2007)

Gambar 2.5 menunjukkan efek penggunaan pajak bensin untuk menginternalisasi eksternalitas dari polusi udara. Titik i menunjukkan keseimbangan awal, dimana kurva penawaran tidak melibatkan polusi apapun atau pajak rumah kaca. Harga ekuilibrium adalah 2.00 dolar dan kuantitas keseimbangan adalah 100 juta galon. Small dan Kazimi (1992) mengestimasi bahwa biaya eksternal terkait polusi sekitar 0,02 dolar per mil kendaraan (atau 2.400 dolar untuk seluruh masa mobil). Dengan rata-rata bahan bakar 20 mil per galon, pajak bahan bakar 0,40 dolar per galon. Pajak tersebut mendorong kurva penawaran ke atas sebesar 0,40 dolar, meningkatkan harga ekuilibrium dari 2,00 dolar menjadi 2,20 dolar dan menurunkan kuantitas dari 100 menjadi 90.
Suatu alternatif untuk mengurangi polusi udara adalah dengan mensubsidi transportasi massa. Subsidi transportasi akan mendorong orang beralih ke bus dan subway, yang mengakibatkan polusi lebih sedikit per penumpang. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, menggunakan subsidi transportasi untuk mengurangi masalah lalu lintas, salah satunya kemacetan. Akan tetapi, pengguna jalan tidak begitu responsif terhadap perubahan harga transportasi, sehingga subsidi transportasi tidak akan mengurangi polusi kendaraan terlalu banyak. Selain itu, mencocokkan harga kendaraan pribadi dengan harga transportasi umum cenderung kepada harga transportasi secara umum, dimana akan cenderung menjadi misalokasi sumber daya dengan tenaga kerja, modal dan energi yang terlalu banyak. 

Konsekuensi ekonomi dan lingkungan dari akumulasi gas rumah kaca tetap tidak menentu. Ketika karbon meningkat, ilmuwan memperkirakan terjadinya gagal panen seperti biaya substansial untuk melindungi wilayah pantai dari kenaikan air, tetapi sulit mengkuantisasi konsekuensi tersebut. Dalam kebijakan lingkungan, jumlah kuncinya adalah biaya eksternal dari per ton karbon yang dihasilkan, yang menentukan pajak karbon yang sesuai. Kita dapat menggunakan Gambar 2.5 untuk menunjukkan efek pajak bensin-karbon. Pajak sebesar 0,13 dolar akan mendorong kurva penawaran ke atas, sehingga meningkatkan harga ekuilibrium dan menurunkan kuantitas ekuilibrium. Harga tersebut akan meningkat setengah dari pajak, yang berarti bahwa sekitar setengah pajak akan digeser kembali pada suplier minyak mentah.
Kecelakaan lalu-lintas merupakan indikator utama tingkat keselamatan jalan raya. Kecelakaan lalulintas adalah kejadian pada lalulintas jalan dimana paling sedikit melibatkan satu kendaraan yang mengakibatkan kerusakan  yang merugikan pemiliknya atau korbannya (Suwardi, 2009). .Di negara maju perhatian dan upaya terhadap permasalahan ini terus dikembangkan demi meminimalkan kuantitas dan kualitas kecelakaan. Namun di negara berkembang seperti Indonesia angka kecelakaan lalu-lintas dimaklumi masih sangat tinggi, sehingga diperlukan upaya-upaya yang lebih serius lagi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Pemerintah telah banyak melakukan usaha penanggulangan kecelakaan lalu lintas, diantaranya pemberian rambu–rambu lalu lintas namun masalah tersebut tidak dapat terselesaikan dengan mudah. Jumlah kecelakaan lalu lintas semakin tahun semakin bertambah jumlahnya baik yang mengalami luka ringan, luka berat bahkan sampai meninggal dunia.
Kecelakaan sering terjadi perkotaan sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Penduduk merupakan faktor utama dalam perkembangan suatu kota yang diiringi dengan pertumbuhan wilayah dan  perekonomian dan kota-kota pendukung sekitarnya serta kota-kota yang memiliki pusat-pusat kegiatan tertentu. Penyebaran kegiatan ekonomi tidak terpusat di satu tempat saja. Hal ini dikarenakan kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi di sekitar tempat tinggal. Begitu juga tingkat kecelakaan di Kota Semarang semakin meningkat jumlahnya.

Tabel 2.4 Data Kecelakaan Lalu Lintas di Kota Semarang Tahun 2010-2012
Tahun
Jumlah Kecelakaan
Meninggal Dunia
Luka Berat
Luka Ringan
2010
1708
249
313
1827
2011
721
65
56
901
2012
1049
176
92
1252
Sumber : Polda Jateng, 2012.

Berdasarkan data jumlah kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang tahun 2010-2012, terjadi penurunan jumlah kecelakaan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2011. Namun pada tahun 2012 jumlah kecelakaan meningkat lagi yang didominasi dengan kecelakaan dengan luka ringan. Berikut adalah data terbaru jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2013 di Kota Semarang.
Semakin hari angka kecelakaan semakin meningkat hal itu disebabkan oleh adanya beberapa faktor baik  faktor human (manusia), faktor kendaraan, faktor jalan (sarana prasarana)  maupun faktor cuaca. Dan sebagian besar faktor penyebab laka lantas adalah  faktor manusia. Kecelakan lalu lintas terjadi dimulai dari Pelanggaran lalu lintas. Pada Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian lalu lintas di wilayah Perkotaan, Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, menyatakan bahwa faktor penyebab kecelakaan biasanya diklasifikasikan identik dengan unsur–unsur sistem transportasi, yaitu pemakai jalan (pengemudi dan pejalan kaki), kendaraan, jalan dan lingkungan, atau kombinasi dari dua unsur atau lebih. Kecelakan lalu lintas membutuhkan penanganan serius mengingat besarnya kerugian yang diakibatkannya. Keselamatan di perjalanan yang baik akan menggairahkan mengadakan kegiatan perjalanan baik bekerja, sekolah, dagang maupun rekreasi. Karena lalu lintas mayoritas jarak jauh, maka kecepan rata – rata tinggi sehingga sering terjadi kecelakaan. 

Bagi penduduk miskin yang tinggal di desa dan berdekatan dengan pusat kota banyak bermobilisasi sebagai pekerja komuter (mobilitas ulang alik). Meskipun mereka menyadari akan sulitnya mencari pekerjaan di kota besar, mereka memiliki harapan besar baik dalam pekerjaan, fasilitas, tanpa mempermasalahkan jenis pekerjaan atau status pekerjaan yang mereka tekuni. Dengan melaksanakan komuter akan mendapat pendapatan yang lebih baik dibanding didesa sehingga akan membantu perekonomian dengan harapan mencapai kesejahteraan sehingga terhindar dari kemiskinan
Para pekerja dengan upah rendah yang bekerja di pusat kota jauh dari pekerjaan yang  ada di dipinggiran kota, mengakibatkan banyak komuter atau penglaju dari pusat kota ke daerah pingiran, dengan upah rendah, dan tingkat pengangguran tinggi. Meskipun banyak penduduk yang bolak-balik dari tempat kerja yang di pusat kota  ke pinggiran kota, para komuter akan mengeluaran biaya yang lebih banyak atau mahal dan memakan waktu karena harus menggunakan angkutan umum karena sebagian besar rumah tangga yang berpenghasilan rendah tidak memiliki mobil sendiri.  Sekitar 27 persen dari keluarga berpenghasilan rendah di perkotaan (dengan pendapatan kurang dari 20.000 dolar) tidak memiliki mobil.
Pada jaman yang dituntut dengan mobilitas tinggi seperti sekarang ini, jika tidak memiliki akses transportasi seperti mobil akan mengurangi mobilitas dan produktifitas. Karena sebagian waktu akan terbuang dijalan dan menunggu. Selain itu biaya untuk para komuter dari pinggir kota ke pusat kota dan sebaliknya pada setiap harinya membutuhkan biaya yang tinggi. Sehingga, upah yang diterima akan dialokasikan untuk kebutuhan sehari-hari dan mengurangi porsinya untuk kebutuhan transportasi komuter.
Tenaga kerja dengan ketrampilan rendah memiliki akses menggunakan mobil akan mendapat manfaat, yaitu :
1.      Para pekerja di pusat kota yang komuter ke pinggiran kota menggunakan angkutan umum, beralih ke sebuah mobil akan menghemat sekitar 19 menit setiap hari.
2.  Pekerja dengan ketrampilan rendah jika dapat menggunakan akses mobil  maka akan mencari pekerjaan di daerah yang lain dengan prospek lebih bagus dan akan menemukan kesempatan kerja.
3.   Pekerja dengan ketrampil rendah, dengan mobil akan lebih mungkin untuk menyelesaikan program pelatihan kerja dan mendapatkan pekerjaan.

 



Perjalanan automobil menimbulkan eksternalitas berupa kemacetan, polusi, emisi karbon, dan kecelakaan. Berikut adalah beberapa poin dari pembahasan di atas:
1.  Pengendara mobil mendasarkan keputusan perjalanan mereka pada biaya pribadi dibandingkan dengan biaya sosial sehingga ekuilibrium volume lalu lintas melebihi volume efisien sosial.
2.         Pajak kemacetan menginternalisasi eksternalitas kemacetan.
3.        Internalisasi eksternalitas lingkungan dari kendaraan akan membutuhkan pajak sekitas 0,53 dolar per galon bensin.
4.  Orang-orang dengan kendaraan yang nyaman berkendara lebih ceroboh, sehingga membahayakan pengguna sepeda dan pejalan kaki.
5.         Biaya eksternal paling tinggi biasanya untuk pengendara muda dan truk pickup.



 

Bappeda Jawa Tengah, Puspics UGM. 1999. Penyusunan Peta (Basia Data Grafis) Sistem Jaringan Jalan di Jawa Tengah. Laporan Akhir. Yogyakarta : Puspics UGM.

O’Sullivan, Arthur. 2007. Urban Economics. Singapore: Mc Graw Hill

Matson, T.M.et al. 1995. Traffic Engineering. Mc. Graw Hill.

Putra, Tutus Kenanthus Avica . 2013. Analisis Preferensi Masyarakat Terhadap Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sasono, Djoko. 2012.  Kebijakan Umum Transportasi Perkotaan: Menuju Sustainable Urban Transportation Di Indonesia. Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat

Sugiharto, Arsono. 2013. “Solusi Kemacetan Jalan Siliwangi di Kota Semarang”, dalam Diponegoro Journal Economics, Vol. 2 No. 4. Semarang: Universitas Diponegoro

www.jasamarga.com. Tarif Tol Pada Jalan Tol Semarang Seksi A, B, C. Diunduh Selasa, 25 November 2014

http://www.jateng.polri.go.id/. Data Kecelakaan Lalu Lintas di Kota Semarang Tahun 2010-2012. Diunduh Senin, 24 November 2014.