Minggu, 17 Mei 2015

ANALISIS PERAN PNPM MANDIRI PERDESAAN DALAM MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN JAWA TENGAH DALAM PRESPEKTIF KELEMBAGAAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan pernyataan dan komitmen perserikatan bangsa-bangsa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Deklarasi tersebut tertuang ke dalam 8 butir tujuan yang dicapai pada tahun 2015, meliputi (1) mengentaskan kemiskinan dan kelaparan absolut, (2) mencapai pendidikan dasar secara universal, (3) meningkatan dukungan persamaan gender dan pemberdayaan wanita, (4) menurunkan tingkat mortalitas anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu hamil, (6) menurunkan persebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lainnya, (7) meningkatkan keberlangsungan lingkungan, (8) mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012).
Tujuan utama MDGs adalah komitmen mengentaskan kemiskinan dan kelaparan (Todaro, 2006). Kemiskinan dapat muncul ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan dalam definisi yang luas kemiskinan bersifat multidimensional, artinya kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan manusia yang beranekaragam yang selanjutnya dapat dipandang melalui berbagai aspek. Ditinjau dari aspek primer kemiskinan meliputi, miskin terhadap asset, rendahnya partisipasi organisasi sosial politik, serta terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan. Sedangkan aspek sekunder mencakup, miskin terhadap jaringan sosial, rendahnya sumber-sumber keuangan dan terbatasnya informasi. Selanjutnya, dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, rendahnya penyediaan air bersih, terbatasnya perumahan layak huni, belum meratanya pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan rendah, serta dari keseluruhannya saling berkaitan secara langsung maupun tidak langsung (Andre Bayo Ala dalam Arsyad, 1997)
Mengingat MDGs merupakan amanat yang patut diwujudkan, maka diperlukan koordinasi dan kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan baik Pemerintah Pusat, Daerah maupun seluruh komponen masyarakat dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2015 menyentuh angka 7,55 persen sesuai dengan salah satu indikator keberhasilan pencapaian MDGs dalam pengentasan kemiskinan.
Persebaran penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan proporsi sebesar 55 persen. Hal ini mengingat Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia. Ditinjau secara administrasif, Pulau Jawa terbagi menjadi 6 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Banten. Selanjutnya apabila melihat 5 tahun terakhir, rata-rata tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 16,92 persen. Berikut adalah gambar persebaran penduduk miskin menurut Pulau Indonesia :
Sumber: BPS Statistik Nasional tahun 2012, diolah
Tingkat Kemiskinan Menurut Provinsi Di Pulau Jawa Tahun 2008 – 2012
Provinsi
Tingkat Kemiskinan
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
DKI Jakarta
4,29
3,62
3,48
3,75
3,69
3,76
Jawa Barat
13,01
11,96
11,27
10,65
10,09
11,39
Jawa Tengah
19,23
17,72
16,56
15,76
15,34
16,92
DI Yogyakarta
18,32
17,23
16,83
16,08
16,05
16,90
Jawa Timur
18,51
16,68
15,26
14,23
13,40
15,62
Banten
8,15
7,64
7,16
6,32
5,85
7,02
Sumber : RPJMD Jawa Tengah 2013.
Berdasarkan tabel 1.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2008 hingga 2012 tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan secara berangsur-angsur yaitu sebesar 19,23 persen di tahun 2008 menjadi 15,34 persen di tahun 2012. Meski demikian tingkat kemiskinan di Jawa Tengah masih tergolong hard core (>10 persen), yang mengindikasikan belum optimalnya upaya pemerintah daerah dalam mengimplementasikan serangkaian kebijakan guna mengentaskan kemiskinan.
Isu strategis tentang kemiskinan di Jawa Tengah adalah terjadinya penurunan kemiskinan di Jawa tengah, akan tetapi penurunan kemiskinan tersebut sangat lambat. Anggaran untuk menanggulangi kemiskinan setiap tahunnya ditambah. Namun banyak kebijakan dan program-program pengentasan kemiskinan yang tidak tepat sasaran.
Pertumbuhan ekonomi seringkali digadang-gadang merupakan faktor yang dibutuhkan guna mereduksi tingkat kemiskinan di suatu daerah. Pembangunan ekonomi diarahkan pada pembangunan inklusif, yang menitikberatkan pada pertumbuhan tanpa disparitas inter-regional dan ketidaksetaraan sosial. Konsep pertumbuhan dalam pembangunan inklusif mengacu pada suatu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan juga strategi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial dengan menyediakan kesempatan bagi orang/kelompok yang terpinggirkan dan rentan untuk berkontribusi pada proses pembangunan. Dengan demikian peluang ekonomi yang dihasilkan harus dapat dinikmati atau terdistribusi ke semua lapisan masyarakat termasuk kaum miskin termarjinalkan. Selama kurun waktu Tahun 2008 - 2012, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat meskipun laju pertumbuhannya bergerak secara perlahan, yaitu sebesar 5,61% di Tahun 2008 menjadi 6,34% di Tahun 2012. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah tersebut, ditopang oleh sektor industri pengolahan serta perdagangan, hotel dan restoran yang merupakan sumber pertumbuhan PDRB Jawa Tengah terbesar setiap tahunnya. Pertumbuhan PDRB Jawa Tengah selama Tahun 2008-2012 dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2.
Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah
Tahun 2008 – 2012
pertumbuhan ekonomi.PNG
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2013

Pergerakan laju pertumbuhan ekonomi yang lambat dipengaruhi oleh faktor internal yang diakibatkan belum optimalnya kinerja sektor industri pengolahan dan faktor eksternal karena masih tingginya ketergantungan pada sektor pertanian. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah aglomerasi, artinya terjadi pemusatan berbagai kegiatan ekonomi ke dalam suatu wilayah tertentu sehingga memunculkan pertumbuhan ekonomi baru pada wilayah tersebut. Selain berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, aglomerasi juga mempunyai manfaat lain yaitu efisiensi kolektif pada proses produksi pada skala menengah dan besar. Sebaran aglomerasi di Jawa Tengah antara lain di Kota Semarang dan Surakarta, Kabupaten Cilacap, Kudus, Pekalongan dan Kendal. Perkembangan gejolak ekonomi global dan terbukanya pasar bebas Asia Pasifik mengakibatkan tingginya persaingan antar produk. Hal ini berdampak pada menurunnya permintaan pasar global, nilai ekspor dan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah.
Ada suatu hubungan trade-off  yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan Sumarto (dalam Kuncoro, 2006). Gambar 1.3 menunjukkan bahwa kecenderungan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah yang terjadi selama periode tahun 2008 hingga 2012, turut diikuti dengan semakin kecilnya angka kemiskinan selama kurun waktu 2008 sampai 2012.

  
Sumber : BPS Jawa Tengah berbagai tahun, diolah
Masalah kemiskinan adalah masalah yang kompleks. Kemiskinan juga merupakan sebuah hubungan sebab akibat (kausalitas melingkar) artinya tingkat kemiskinan yang tinggi terjadi karena rendahnya pendapatan perkapita, pendapatan perkapita yang rendah terjadi karena investasi perkapita yang juga rendah. Tingkat investasi perkapita yang rendah disebabkan oleh permintaan domestik perkapita yang rendah juga dan hal tersebut terjadi karena tingkat kemiskinan yang tinggi dan demikian seterusnya, sehingga membentuk sebuah lingkaran kemiskinan sebagai sebuah hubungan sebab dan akibat (teori Nurkse) dan telah dibuktikan untuk contoh kasus lingkar kemiskinan di Indonesia (Jaka Sumanta, 2005).
Perhatian pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah telah banyak dilakukan. Dapat dibuktikan melalui anggaran untuk pengentasan kemiskinan setiap tahun semakin meningkat, namun tidak diikuti dengan penurunan kemiskinan yang sangat drastis. Hal tersebut dikarenakan banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang tidak menyentuh masyarakat miskin. Pemerintah cenderung memberikan bantuan instan kepada masyarakat miskin. Hal tersebut tidak akan memberdayakan dengan kemandirian masyarakat miskin dalam jangka panjang namun akan mengakibatkan ketergatungan sementara bantuan dari kebijakan tersebut bersifat sementara.
Pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ( PNPM ) Mandiri mulai tahun 2007 untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja,. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan  partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan.
Dalam kegiatan ekonomi, PNPM Mandiri diwujudkan dengan kegiatan pinjaman bergulir, yaitu pemberian pinjaman dalam skala mikro kepada masyarakat miskin di wilayah kelurahan atau desa yang tergabung dalam KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Program pinjaman bergulir ini serupa dengan program Grameen Bank yang merupakan program andalan Yunus yakni tidak menerapkan agunan. Masalah kesejahteraan sosial penduduk di Kota Semarang merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat (Bappeda Kota Semarang, 2008).
1.2.Rumusan Masalah
Penurunan kemiskinan Jawa Tengah yang lambat dapat dimaknai sebagai sebuah produk kegagalan kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tidak disesuaikan dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan lembaga pemerintah ternyata tidak mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Permasalahan utamanya terletak pada struktur kelembagaan pemerintah yang ternyata tidak mampu menyentuh realitas kemiskinan yang sebenarnya. Keterputusan tersebut berawal dari kesalahan pemerintah ketika meletakkan kemiskinan atau orang miskin sebagai sebuah obyek dari kebijakan sehingga banyak kebijakan yang justru tidak bisa dilaksanakan secara maksimal. Pemerintah cenderung memberi bantuan secara instan kepada masyarakat miskin, oleh karena itu kebijakan tersebut justru tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Maka penulisan makalah ini akan menganalisis peran PNPM Mandiri Perdesaan dalam meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan Jawa Tengah dalam prespektif kelembagaan.
1.3.Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis peran PNPM Mandiri Perdesaan dalam meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan Jawa Tengah dalam prespektif kelembagaan.


TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan
2.1.1. Definisi Kemiskinan
            Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan standar minimum (Kuncoro, 2006). Hal senada turut diutarakan Todaro (2006) yang mengemukakan bahwa cakupan kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selanjutnya guna mempermudah gambaran mengenai hak-hak dasar dalam menpertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat, maka Bappenas (dalam Setiawan,2011) memaparkan hak-hak dasar yang harus dipenuhi, antara lain : 
1.         Terpenuhinya kebutuhan pangan,
2.         Kebutuhan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
3.         Rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan,
4.         Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
2.1.2. Penyebab Kemiskinan
1.      Menurut World Bank 2003 (dalam Sholeh 2009), penyebab dasar kemiskinan adalah :
a.         Kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal.
b.         Terbatasnya ketersediaan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana.
c.         Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
d.        Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung.
e.         Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern).
f.          Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal masyarakat.
g.         Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya.
h.         Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance).
i.           Eksploitasi alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
2.      Kemudian Sharp, et al (dalam Kuncoro, 2006) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi :
a.         secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
b.         kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia.
c.         kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Faktor penyebab kemiskinan yang dikemukan oleh Sharp, et al bermuara pada teori lingkaran kemiskinan (Vicious Circle of Poverty). Nurkse mengatakan bahwa ‘’a poor country is poor because it is poor’’. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.
 



                                               
Rounded Rectangle: Produtivitas Rendah
Rounded Rectangle: Tabungan Rendah
 





Sumber: Kuncoro (2006)
Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Oleh karena itu, setiap usaha memerangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini (Kuncoro, 2006)
2.1.3. Ukuran Pendapatan Kemiskinan
            Menurut Arsyad (1997) kemiskinan dapat dilihat dari 2 ukuran pendapatan : 
1.    Kemiskinan Absolut adalah seseorang yang memiliki pendapatan, namun belum mampu untuk memuhi kebutuhan minimum agar hidup secara layak. Kemiskinan diukur dengan memperbandingkan tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan.
2.    Kemiskinan Relatif adalah seseorang yang mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Sehingga kemiskinan relatif bersifat dinamis dan kemiskinan akan selalu ada.
2.1.4 Indikator Kemiskinan
            Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) tingkat kemiskinan dihitung menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan yang terdiri dari 2 komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita perhari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Sedangkan Garis Kemiskinan Bukan Makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Oleh karena itu penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita bulan di bawah Garis Kemiskinan di masukkan ke dalam kelompok penduduk miskin.
2.2.    Penanggulangan Kemiskinan
Penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang peluang penanggulangan kemiskinan, baik dari bentuk lama yang disusun di pemerintah pusat, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2004). Otonomi daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di tangan pemerintah kabupaten dan kota, serta pemerintah desa.
Berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dikeluarkan dan diimplementasian bertujuan untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin. Penanggulangan kemiskinan pada akhirnya juga menjadi aspek pembangunan yang tidak dapat dipisahkan karena pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak secara otomatis mengurangi angka kemiskinan tetapi malah yang terjadi adalah tingkat kesenjangan yang semakin tinggi.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan menurut Sumodiningrat (1996) digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu (1) kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin, (2) kebijaksaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran, dan (3) kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin dan daerah terpencil melalui upaya khusus.
2.3.            Kelembagaan dan Peran Kelembagaan
Menurut Nasution (2002), kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku individual dan sangat penting artinya bagi pengembangan pertanian. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu : kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan Kikuchi, 1987).
 Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya merujuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah, koperasi, bank dan sebagainya. Suatu kelembagaan (instiution) baik sebagai suatu aturan main maupun sebagai suatu organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama (Pakpahan, 1990 dalam Nasution, 2002) yaitu :
1.   Batas kewenangan ( jurisdictional boundary) Batas kewenangan merupakan batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya, faktor produksi, barang dan jasa. Dalam suatu organisasi, batas kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi tersebut.
2.    Hak Kepemilikan (Property right) Konsep property right selalu mengandung makna sosial yang berimpiklasi ekonomi. Konsep property right atau hak kepemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) dari semua masyarakat perserta yang diatur oleh suatu peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi atau consensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan hak milik atau penguasaan apabila tidak ada pengesahan dari masyarakat sekarang. Pengertian diatas mengandung dua implikasi yakni, hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan hak yang tercermin oleh kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya.
3.    Aturan representasi (Rule of representation) Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota dalam organisasi tersebut. Terkait dengan komunitas perdesaan, maka terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal dapat dilakukan dengan sistem jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan.
2.4.            Pemberdayaan dalam Pembangunan Ekonomi
Hakekat pemberdayaan pada dasarnya adalah penciptaan susana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat bisa berkembang. Logika ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap masyarakat pasti memiliki daya akan tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari atau potensi yang ada belum tergali untuk dikembangkan. Pemberdayaan jangan menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan, sehingga pemberdayaan sebaiknya mengantarkan pada proses kemandirian.


2.4.1.       Pengembangan Pemberdayaan dengan Kelembagaan
Kelembagaan yaitu bagaimana kelembagaan yang dibentuk di daerah bisa mewadahi berbagai unsur kepentingan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Pihak mana yang akan menangani bentuk dan model kemitraan yang akan dibuat.
2.5.            Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
2.5.1.   Pengertian PNPM Mandiri
PNPM Mandiri merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. PNPM Mandiri difokuskan pada penanganan kemiskinan yang berbasis partisipasi dan pembedayaan masyarakat. PNPM mandiri merpakan integrasi dan perluasan program penanggulangan kemiskinan yang berbasis masyarakat yang sudah jalan (Depdagri, 2008)2
2.5.2.   Jenis-jenis PNPM Mandiri  
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia ada tiga jenis (Depdagri, 2008). Antara lain :
a.     PNPM Mandiri Perdesaan
b.     PNPM Mandiri Perkotaan
c.     PNPM Mandiri Khusus Desa Tertinggal



BAB III
PEMBAHASAN


3.1.   Kondisi Kemiskinan Jawa Tengah
Kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang bersifat multidimensi, sehingga upaya menanggulangi kemiskinan perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Mengingat tingkat kemiskinan di Jawa Tengah masih tinggi dan proses penurunanya cenderung lambat, maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah daerah adalah dengan meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terutama pangan, pendidikan, kesehatan, air minum, sanitasi dan perumahan. Selain itu diberlakukannya pula pemberdayaan ekonomi masyarakat, memperkuat kelembagaan dan pendayagunaan sumber daya potensial untuk penanggulangan kemiskinan (RPJMD, 2013). Langkah pemerintah Jawa Tengah dalam mengentaskan kemiskinan telah tercirmin dari semakin meningkatnya alokasi anggaran guna mengentaskan permasalahan kemiskinan.  
Anggaran pemerintah yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan selama kurun waktu 2008 sampai 2012 mengalami peningkatan yaitu 931.728.000 rupiah di tahun 2008 menjadi 1.466.256.000 rupiah di tahun 2012. Berikut adalah alokasi anggaran pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2008-2012.
Tabel 3.1.
Tahun
Anggaran Pemerintah (Rupiah)
2008
931.728.000.000
2009
1.059.688.000.000
2010
1.201.907.000.000
2011
1.227.250.132.000
2012
1.466.256.000.000
        Sumber : Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan berbagai tahun, diolah

        
Tingkat kemiskinan Di 35 Kabupaten/Kota Jawa Tengah
No.
Kabupaten/Kota
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
1.
Kab. Cilacap
21,40
19,88
18,11
17,15
15,92
18,49
2.
Kab. Banyumas
22,93
21,52
20,20
21,11
19,44
21,04
3.
Kab. Purbalingga
27,12
24,97
24,58
23,06
21,19
24,18
4.
Kab. Banjarnegara
23,34
21,36
19,17
20,38
18,87
20,62
5.
Kab. Kebumen
27,87
25,73
22,70
24,06
22,40
24,55
6.
Kab. Purworejo
18,22
17,02
16,61
17,51
16,32
17,14
7.
Kab. Wonosobo
27,72
25,91
23,15
24,21
22,50
24,70
8.
Kab. Magelang
16,49
15,19
14,14
15,18
13,97
14,99
9.
Kab. Boyolali
17,08
15,96
13,72
14,97
13,88
15,12
10.
Kab. Klaten
21,72
19,68
17,47
17,95
16,71
18,71
11.
Kab. Sukoharjo
12,13
11,51
10,94
11,13
10,16
11,17
12.
Kab. Wonogiri
20,71
19,08
15,67
15,74
14,67
17,17
13.
Kab. Karanganyar
15,68
14,73
13,98
15,29
14,07
14,75
14.
Kab. Sragen
20,83
19,70
17,49
17,95
16,72
18,54
15.
Kab. Grobogan
19,84
18,68
17,86
17,38
16,14
17,98
16.
Kab. Blora
18,79
17,70
16,27
16,24
15,11
16,82
17.
Kab. Rembang
27,21
25,86
23,40
23,71
21,88
24,41
18.
Kab. Pati
17,90
15,92
14,48
14,69
13,61
15,32
19.
Kab. Kudus
12,58
10,80
9,01
9,45
8,63
10,09
20.
Kab. Jepara
11,05
9,60
10,18
10,32
9.38
10,11
21.
Kab. Demak
21,24
19,70
18,76
18,21
16,73
18,93
22.
Kab. Semarang
11,37
10,66
10,50
10,30
9,40
10,45
23.
Kab. Temanggung
16,39
15,05
13,46
13,38
12,32
14,12
24.
Kab. Kendal
17,87
16,02
14,47
14,26
13,17
15,16
25.
Kab. Batang
18,08
16,61
14,67
13,47
12,40
15,05
26.
Kab. Pekalongan
19,52
17,93
16,29
15,00
13,86
16,52
27.
Kab. Pemalang
23,92
22,17
19,96
20,68
19,28
21,20
28.
Kab. Tegal
15,78
13,98
13,11
11,54
10,75
13,03
29.
Kab. Brebes
25,98
24,39
23,01
22,72
21,12
23,44
30.
Kota Magelang
11,16
10,11
10,51
11,06
10,31
10,63
31.
Kota Surakarta
16,13
14,99
13,96
12,90
12,01
14,00
32.
Kota Salatiga
8,7
7,82
8,28
7,80
7,11
7,90
33.
Kota Semarang
6,00
4,84
5,12
5,68
5,13
5,35
34.
Kota Pekalongan
10,29
8,56
9,36
10,04
9,47
9,54
35.
Kota Tegal
11,28
9,88
10,62
10,81
10,04
10,53
Sumber : RPJMD Jawa Tengah 2013.

Berdasarkan Tabel 3.2. sebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukkan bahwa masih terdapat 15 kabupaten dengan angka kemiskinan di atas rata-rata provinsi dan nasional, sehingga masih perlu upaya percepatan penurunan Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah. Persentase penduduk miskin terbesar pada Tahun 2012 terdapat di Kabupaten Wonosobo sebesar 22,50%, Kebumen sebesar 22,40%, dan Rembang sebesar 21,88%. Dilihat dari jumlah penduduk miskin, kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Brebes sejumlah 364.900 orang, Banyumas sejumlah 304.000 orang, dan Cilacap sejumlah 260.900 orang.
Tabel 3.3.
Jumlah Penduduk Miskin,Persentase Penduduk Miskin Jawa Tengah
 Tahun 2008 – 2012
Provinsi Jawa Tengah
Jumlah Penduduk Miskin (000) Kota
Jumlah Penduduk Miskin (000) Desa
Jumlah Penduduk Miskin (000) Kota + Desa
% Penduduk Miskin Kota
% Penduduk Miskin Desa
%Penduduk Miskin Kota + Desa
2008
2556,50
3633,10
6189,60
16,34
21,96
19,23
2009
2420,90
3304,80
5725,70
15,41
19,89
17,72
2010
2258,90
3110,20
5369,20
14,33
18,66
16,56
2011
2092,51
3014,85
5107,36
14,12
17,14
15,76
2012
1946,50
2916,90
4863,40
13,11
16,55
14,98
Sumber:  BPS, Stastistik Indonesia

Berdasarkan tabel 3.3. jumlah penduduk miskin mengalami penurunan selama Tahun 2008 –2012. Jumlah penduduk miskin Tahun 2012 sebanyak 4,86 juta jiwa (14,98%) lebih rendah dibandingkan Tahun 2011 sebanyak 5,25 juta jiwa (16,21%), namun masih di atas rata – rata angka nasional sebesar 11,66%, dengan proporsi penduduk miskin di perdesaan (59,98%) lebih tinggi dibanding perkotaan (40,02%). Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah selama Tahun 2008 – 2012 cenderung mengalami penurunan walaupun laju penurunannya melambat. Jumlah penduduk miskin Tahun 2012 sebanyak 4,86 juta jiwa (14,98%) lebih rendah dibandingkan Tahun 2011 sebanyak 5,25 juta jiwa (16,21%), namun masih di atas rata – rata angka nasional sebesar 11,66%. Distribusi penduduk miskin di Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukan bahwa penduduk miskin di Jawa Tengah sebagian besar berada di perdesaan (59,98%) dibanding perkotaan (40,02%). Sementara sebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah 2011 menunjukkan bahwa masih terdapat 15 kabupaten dengan angka kemiskinan di atas rata-rata provinsi dan nasional, sehingga masih perlu upaya lebih keras untuk menurunkan jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah.
Selanjutnya berdasarkan data PPLS Tahun 2011, terdapat rumah tangga (ruta) yang dikategorikan sangat miskin dan miskin sebanyak 1.195.368 ruta, hampir miskin 1.155.102 ruta dan rentan miskin lainnya 1.893.736 ruta. Melalui pemetaan interval persentase rumah tangga miskin (sangat miskin dan miskin) dibandingkan total rumah tangga yang dilakukan Sekretariat TKPK Provinsi Jawa Tengah, sebanyak 50 kecamatan (15 kabupaten) termasuk katagori kecamatan dengan persentase penduduk miskin tinggi, 234 kecamatan (26 kabupaten) kategori sedang dan 289 kecamatan (30 kabupaten/kota) kategori rendah.
Jumlah penduduk miskin di jawa tengah selama tahun 2008 – 2012 cenderung mengalami penurunan walaupun laju penurunannya melambat. Jumlah penduduk miskin tahun 2012 sebanyak 4,86 juta jiwa (14,98%) lebih rendah dibandingkan tahun 2011 sebanyak 5,25 juta jiwa (16,21%), namun masih di atas rata-rata angka nasional sebesar 11,66%. Perlu percepatan dalam penurunan kemiskinan baik melalui pemerintah atau para lembaga-lembaga terkait pengentasan kemiskinan.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing–masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Berdasarkan data Tahun 2012, Indeks Kedalaman Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah sebesar 2,39 atau berada di atas rata-rata angka nasional sebesar 1,90. Dalam kurun waktu 2008 - 2012 perkembangan Indeks Kedalam Kemiskinan cenderung menurun dari sebesar 4,25 menjadi 2,39. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan kesenjangan pengeluaran penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah dalam empat tahun terakhir cukup efektif. Selanjutnya Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Kabupaten/Kota pada Tahun 2012, tertinggi adalah Kabupaten Wonosobo (3,91) dan terendah Kota Salatiga (0,77). Secara rinci perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2008-1012 dapat dilihat pada Tabel 3.4.


Tabel 3.4.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah
No.
Kabupaten/Kota
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
2008
(Juli)
2009
(Juli)
2010
(Juli)
2011
(Sept)
2012
(Sept)
1.
Kab. Cilacap
4,67
2,76
3,05
2,59
2,22
2.
Kab. Banyumas
3,95
3,21
3,56
3,69
3,42
3.
Kab. Purbalingga
5,40
4,60
4,00
3,11
3,72
4.
Kab. Banjarnegara
5,75
3,42
3,34
3,15
3,39
5.
Kab. Kebumen
7,05
4,87
3,68
3,94
3,35
6.
Kab. Purworejo
4,17
2,57
2,67
2,82
2,78
7.
Kab. Wonosobo
8,07
5,14
3,97
4,52
3,91
8.
Kab. Magelang
5,01
1,99
2,05
2,05
2,09
9.
Kab. Boyolali
3,64
2,36
2,34
2,15
2,14
10.
Kab. Klaten
7,09
3,12
2,95
3,43
2,14
11.
Kab. Sukoharjo
2,63
1,45
1,54
1,68
1,78
12.
Kab. Wonogiri
6,03
2,87
3,02
3,09
1,76
13.
Kab. Karanganyar
3,02
1,84
1,98
1,98
2,24
14.
Kab. Sragen
3,50
3,16
2,85
2,89
2,38
15.
Kab. Grobogan
4,49
2,50
2,48
2,62
2,55
16.
Kab. Blora
5,12
2,38
2,38
2,35
2,19
17.
Kab. Rembang
5,48
3,66
3,50
2,86
2,76
18.
Kab. Pati
6,01
2,22
2,43
2,07
1,72
19.
Kab. Kudus
2,76
1,56
0,92
1,16
0,92
20.
Kab. Jepara
1,99
1,14
1,12
1,30
0,94
21.
Kab. Demak
3,86
3,68
3,75
3,12
2,75
22.
Kab. Semarang
2,33
1,43
1,45
1,60
1,57
23.
Kab. Temanggung
4,66
2,58
1,73
1,93
1,85
24.
Kab. Kendal
4,02
2,88
3,48
2,21
1,59
25.
Kab. Batang
5,41
2,66
2,29
2,07
1,89
26.
Kab. Pekalongan
4,23
2,40
2,40
2,08
1,49
27.
Kab. Pemalang
3,59
3,98
3,19
3,09
2,51
28.
Kab. Tegal
2,70
2,44
1,78
1,89
1,14
29.
Kab. Brebes
5,06
4,36
4,27
4,25
3,07
30.
Kota Magelang
1,68
1,88
1,61
1,61
1,48
31.
Kota Surakarta
2,71
2,67
2,19
1,89
1,33
32.
Kota Salatiga
1,28
0,83
0,94
1,30
0,77
33.
Kota Semarang
0,99
1,02
0,89
0,71
0,80
34.
Kota Pekalongan
1,03
1,17
1,12
1,37
1,09
35.
Kota Tegal
1,42
1,64
1,72
1,89
0,95
Jawa Tengah
4,25
2,89
2,49
2,56
2,39
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2012.

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) merupakan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Ukuran ini memberikan informasi saling melengkapi pada kasus kemiskinan. Capaian Indeks Keparahan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2012 sebesar 0,57 atau lebih tinggi dari rata-rata angka nasional sebesar 0,49, tertinggi adalah Kabupaten Wonosobo (1,04) dan terendah Kota Salatiga (0,13), selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5.
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah
No.
Kabupaten/Kota
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
2008
(Juli)
2009
(Juli)
2010
(Juli)
2011
(Sept)
2012
(Sept)
1.
Kab. Cilacap
1,35
0,60
0,81
0,60
0,50
2.
Kab. Banyumas
0,93
0,75
0,99
0,99
0,91
3.
Kab. Purbalingga
1,49
1,27
1,08
0,67
0,96
4.
Kab. Banjarnegara
1,72
0,85
0,92
0,74
0,94
5.
Kab. Kebumen
2,05
1,34
0,92
0,96
0,75
6.
Kab. Purworejo
1,21
0,59
0,65
0,74
0,65
7.
Kab. Wonosobo
2,86
1,54
1,09
1,25
1,04
8.
Kab. Magelang
1,69
0,41
0,46
0,44
0,48
9.
Kab. Boyolali
1,01
0,59
0,71
0,49
0,51
10.
Kab. Klaten
2,50
0,73
0,75
0,99
0,47
11.
Kab. Sukoharjo
0,74
0,30
0,35
0,35
0,49
12.
Kab. Wonogiri
2,06
0,65
0,92
0,89
0,33
13.
Kab. Karanganyar
0,78
0,36
0,50
0,41
0,50
14.
Kab. Sragen
0,85
0,76
0,66
0,73
0,55
15.
Kab. Grobogan
1,23
0,55
0,52
0,63
0,61
16.
Kab. Blora
1,61
0,51
0,61
0,51
0,47
17.
Kab. Rembang
1,43
0,78
0,83
0,58
0,60
18.
Kab. Pati
2,08
0,54
0,68
0,47
0,35
19.
Kab. Kudus
0,71
0,34
0,16
0,20
0,19
20.
Kab. Jepara
0,46
0,25
0,22
0,25
0,18
21.
Kab. Demak
0,88
1,05
1,14
0,75
0,68
22.
Kab. Semarang
0,65
0,34
0,32
0,44
0,38
23.
Kab. Temanggung
1,50
0,76
0,34
0,45
0,41
24.
Kab. Kendal
1,23
0,77
1,30
0,59
0,30
25.
Kab. Batang
1,93
0,67
0,55
0,50
0,43
26.
Kab. Pekalongan
1,02
0,52
0,53
0,42
0,24
27.
Kab. Pemalang
0,85
1,08
0,80
0,71
0,50
28.
Kab. Tegal
0,68
0,67
0,35
0,46
0,23
29.
Kab. Brebes
1,36
1,18
1,17
1,23
0,77
30.
Kota Magelang
0,44
0,51
0,39
0,36
0,33
31.
Kota Surakarta
0,75
0,78
0,53
0,46
0,28
32.
Kota Salatiga
0,34
0,17
0,16
0,33
0,13
33.
Kota Semarang
0,29
0,39
0,25
0,18
0,19
34.
Kota Pekalongan
0,18
0,26
0,19
0,32
0,19
35.
Kota Tegal
0,21
0,42
0,44
0,51
0,15
Jawa Tengah
1,24
0,87
0,60
0,66
0,57
Sumber : RPJMD Jawa Tengah, 2013.

3.2.   Penduduk Miskin Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011

Berdasarkan data PPLS Tahun 2011, dari total rumah tangga (ruta) sebanyak 8.752.059 ruta, masuk dalam klasifikasi miskin sebanyak 4.244.206 ruta, dengan rincian sangat miskin 521.186 ruta, miskin 674.182 ruta, hampir miskin 1.155.102 ruta dan rentan miskin lainnya 1.893.736 ruta. Melalui pemetaan interval persentase rumah tangga miskin (sangat miskin dan miskin) dibandingkan total rumah tangga yang dilakukan Sekretariat TKPK Provinsi Jawa Tengah, sebanyak 50 kecamatan (15 kabupaten) masuk kategori kecamatan dengan persentase penduduk miskin tinggi, 234 kecamatan (27 kabupaten) kategori sedang dan 289 kecamatan (30 kabupaten/kota) kategori rendah.
3.3.  Meningkatkan Pemberdayaan Dan Partisipasi Masyarakat
Penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilaksanakan secara instan dan bersifat sementara tetapi harus terus menerus dan berkelanjutan. Perlu penanganan menyeluruh dan intervensi dari semua fihak baik pemerintah, masyarakat dan kelompok peduli (swasta, asosiasi, perguruan tinggi, media, ornop, dll).
Menurut Teguh Kurniawan (2009). terkait dengan pemberdayaan masyarakat, Yang (2005) mengangkat isu mengenai diperlukannya rasa saling percaya antara administrator publik dengan warga masyarakat guna meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Administrasi Publik. Merujuk kepada pendapat Offe (1999), kepercayaan memiliki 4 (empat) dimensi, yakni: (1) kepercayaan warga masyarakat kepada sesama warga masyarakat; (2) kepercayaan masyarakat terhadap elit; (3) kepercayaan elit politik terhadap sesama elit; serta (4) kepercayaan elit politik terhadap warga masyarakat (Yang, 2005).
Implementasi meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat pada hakekatnya dapat mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, karena sudah tidak dipungkiri lagi melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat seperti melalui PNPM-Mandiri yang semula pembangunannya topdown dengan pemberdayaan dan partisipasi mayarakat pembangunan banyak keuntungan yang didapat seperti: pembangunan berdasarkan kebutuhan/persoalan masyarakat karena yang merancang, melaksanakan dan mengawasi masyarakat sendiri, adanya swadaya yang lebih besar dari masyarakat, dapat menumbuhkan modal sosial, dll. Untuk meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat tersebut perlu dilakukan beberapa langkah/kegiatan yang dilakukan dengan pendekatan struktural dan kultural. Di dalam suatu masyarakat, dari yang paling kecil seperti rumah tangga ada tatanan atau struktur tertentu untuk mengatur keberlanjutan masyarakat tersebut (Sarsetyono, 2014). Sedangkan Soekanto (1983) memberikan contoh yang paling sederhana tentang teori struktural-fungsional yaitu struktur tubuh manusia yang terdiri dari kepala, leher, badan dan anggota badan. Masing-masing struktur mempunyai tugas sendiri-sendiri namun tetap diperlukan kerjasama karena struktur yang satu dan lainnya saling tergantung agar bisa menjalankan tugas secara sempurna. Sedangkan Kultur atau kebudayaan adalah perilaku berpola yang ada dalam kelompok tertentu yang anggotanya memiliki makna, simbul dan cara yang sama untuk mengkomunikasikan makna tersebut (Colletta dan Kayam, 1987). Unsur-unsur kebudayaan tersebut meliputi pranata atau aturan tersurat maupun tersirat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Kebudayaan umumnya terbentuk dalam waktu yang lama dan terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari dan tercermin dalam perilaku suatu individu atau masyarakat

3.4.    PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah

Salah satu program penanggulangan kemiskinan di Indonesia adalah PNPM Mandiri Perdesaan. Pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat.
3.4.1.   Visi Misi PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah
Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah:
a.    Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya
b.    Pelembagaan sistem pembangunan partisipatif
c.    Pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal
d.   Peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat
e.    Pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan
Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
3.4.2.   Strategi Pengentasan Kemiskinan melalui PNPM Mandiri Perdesaan
Dalam menghadapi tantangan masa depan, maka strategi pengentasan kemiskinan harus diarahkan untuk :
a.       Peningkatan Kualitas Manusia dan Penghasilan secara Berkelanjutan
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mewujudkan manusia berkualitas dan mempunyai penghasilan secara berkelanjutan adalah peningkatan pendidikan dan ketrampilan yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dalam mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan program pendidikan dan ketrampilan di masa depan ini harus dilandasi dengan asumsi bahwa kualitas dan keanekaragaman pengetahuan dan ketrampilan makin dibutuhkan baik disektor pertanian maupun non-pertanian. Ini berarti bahwa pengembangan sistem pendidikan dan ketrampilan di masa depan harus secara spesifik memperhatiakn kepentingan golongan miskin. Keberpihakan terhadap golongan miskin ini diperlukan untuk mengembangkan masyarakat miskin menjadi potensi penggerak perekonomian dimasa mendatang.
b.      Peningkatan Pelayanan Kesehatan : Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan
Aksesibilitas penduduk miskin terhadap fasilitas kesehatan masih perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, saat ini lebih dari 70% desa miskin tidak mempunyai fasilitas kesehatan yang memadai. Kondisi ini sangat mempengaruhi kesehatan dan kualitas penduduk yang tentunya juga mempengaruhi produktivitas mereka. Desa miskin umumnya tidak mempunyai prasarana perhubungan yang memadai, dan penyediaan fasilitas air bersih juga memprihatinkan. Perlu dilakukan program peningkatan pelayanan sosial yang memadai yang mencakup aspek kesehatan, sarana perhubungan, sanitasi lingkungan, dan air bersih. Kegiatan ini akan lebih efektif bila dicanangkan secara nasional, dan untuk periode ini target utamanya adalah wilayah-wilayah miskin yang berada di daerah perkotaan. Hal ini mengingat bahwa di tahun-tahun mendatang, tekanan-tekanan di perkotaan baik sebagai akibat urbanisasi maupun perkembangan pembangunan di kota akan semakin meningkat.
c.       Pelestarian Fungsi Sumber Daya Alam
Sampai pada tahun 2020 kebanyakan penduduk miskin diperkirakan masih akan bergantung pada sumberdaya alam. Masyarakat petani akan menghadapi masalah serius yang sulit dipecahkan, yaitu kelangkaan tanah. Tanah untuk kegiatan pertanian telah dan akan semakin menyempit sebagai akibat konversi menjadi tanah non-pertanian seperti industri dan pemukiman.
Selain petani, nelayan merupakan kelompok masyarakat miskin yang memerlukan perhatian. Salah satu langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi masalah masyarakat miskin di wilayah pesisir (nelayan) adalah pengembangan sektor kelautan yang lebih memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan. (Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi NAsional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kameneg LH $ UNDP, Jakarta Maret 1997, Hal 16-18).
3.4.3.   Tujuan dan Output PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah
Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
Tujuan khususnya meliputi:
  1. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan
  2. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal
  3. Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif
  4. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat
  5. Melembagakan pengelolaan dana bergulir
  6. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan KerjaSama Antar Desa (BKAD)
  7. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan
Keluaran atau output yang diharapkan :
  1. Terjadinya peningkatan keterlibatan Rumahtangga Miskin (RTM) dan kelompok perempuan mulai perencanaan sampai dengan pelestarian
  2. Terlembaganya sistem pembangunan partisipatif di desa dan antar desa
  3. Terjadinya peningkatan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif
  4. Berfungsi dan bermanfaatnya hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan bagi masyarakat
  5. Terlembaganya pengelolaan dana bergulir dalam peningkatan pelayanan sosial dasar dan ketersediaan akses ekonomi terhadap RTM
  6. Terbentuk dan berkembangnya BKAD dalam pengelolaan pembangunan
  7. Terjadinya peningkatan peran serta dan kerja sama para pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan
3.4.4.   Alokasi Dana Bantuan PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah
Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten, 6 kota, 564 kecamatan dan 8,564 desa. Dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2008, jumlah lokasi yang telah dan sedang menerima dana bantuan PPK adalah sebanyak 29 kabupaten, 322 kecamatan dan 5,073 desa. Total dana BLM dari tahun 1998 sampai dengan 2008 adalah sebesar Rp 1,537,032,568,000 dan sampai dengan akhir tahun 2007 telah dicairkan sebesar Rp 1,075,182,568,000 (69,95%). Pada tahun 2008 terdapat dana BLM 2007 sebesar Rp 600,000,000 yang akan dicairkan dengan mekanisme On Top dan terdapat BLM sebesar APBN Rp 369,000,000 dan APBD Rp 92,250,000.
Alokasi dana bantuan PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2008 digunakan untuk mendanai 29 kabupaten, 224 kecamatan dan dikompetisikan di 3.536 desa yang berpartisipasi. Program ini memiliki cara pandang bahwa masyarakat sendirilah yang harus menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan (decision makers) bagi jenis-jenis kegiatan yang diusulkan masyarakat secara terbuka untuk dipilih saat musyawarah. Kebebasan mengusulkan serta kebebasan untuk memutuskan inilah yang harus diperkuat agar pola pembangunan partisipatif terus dipertahankan dari waktu ke waktu, sehingga masyarakat merasa memiliki (sense of belonging) kegiatan pembangunan yang ada di desanya.
3.4.5.   Kegiatan Dana Bergulir
Salah satu bentuk kegiatan yang didanai PNPM Mandiri Perdesaan adalah ”dana bergulir”. Pengelolaan dana bergulir dilakukan oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang berada di wilayah kecamatan. Ada dua jenis kegiatan, yaitu Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP).
Bantuan modal UPK sejak tahun 1998 sampai dengan 2008 adalah sebesar Rp 331.613.888.400, dalam perkembanganya terjadi pertumbuhan asset sebesar Rp 471.517.598.450 (42.18%).
Berdasarkan laporan Neraca UPK Provinsi Jawa Tengah per 30 Juni 2009, total dana kas yang ada sebesar Rp 1.266.419.030; total bank sebesar Rp 73.084.828.910; Jumlah pinjaman UEP yang ada di masyarakat sebesar Rp 186.203.257.355; SPP Rp. 216.517.160.828; biaya dibayar dimuka dengan nilai buku sebesar Rp. 899.909.077; sehingga dengan demikian Aktiva Lancar yang dimiliki adalah sebesar Rp. 477.671.130.440,- . Sedangkan Nilai buku inventaris sebesar Rp. 6.198.907.905; Alokasi Desa untuk kegiatan sarana prasarana, pendidikan, kesehatan, jenis kegiatan lain dan biaya operasional desa yang masih dalam Proses (masih dalam pengerjaan atau belum diserahterimakan) sebesar Rp. 108.279.298.459; dan Alokasi Desa Serah Terima (untuk seluruh kegiatan selain kegiatan ekonomi yang telah diserahterimakan) sebesar Rp. 1.095.778.747.944; dengan demikian Aktiva Tetap yang dimiliki sebesar Rp. 1.210.256.954.308,-. dan Aktiva Lain-lain (Rupa-rupa aktiva) sebesar Rp. 899.909.077,-. Dengan demikian Jumlah Total Aktiva yang dimiliki sebesar Rp 1.688.827.993.825,-.
Dalam neraca juga tercatat Kewajiban Jangka Pendek (hutang) sebesar Rp. 7.592.993.862,- dari bulan sebelumnya sebesar Rp. 8.425.440.570,-.. Hutang ini merupakan alokasi dari pembagian laba/surplus berjalan tahun 2008 yang belum disalurkan, yaitu untuk pengembangan kelembagaan UPK dan kelompok, dana sosial bagi warga masyarakat yang miskin (RTM) dan lain-lain; Ekuitas (Dana BLM) sebesar Rp. 1.541.595.036.675,- yang berasal dari alokasi dana BLM PPK 1, PPK 2, Matching Grant, PPK 3, PNPM-PPK 2007, PNPM Mandiri Perdesaan 2008 dan Dana Hibah dari pihak ketiga.; Laba Ditahan sebesar Rp. 109.115.302.061; dan Laba Berjalan sebesar Rp. 30.524.661.227,-. Sehingga Total Pasiva yang dimiliki sebesar Rp. 1.688.827.993.825,-.



BAB IV
PENUTUP

4.1.    Kesimpulan
1.        Kemiskinan di Jawa Tengah setiap tahunnya mengalami penurunan. Namun penurunan tersebut lambat. Sebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukkan bahwa masih terdapat 15 kabupaten dengan angka kemiskinan di atas rata-rata provinsi dan nasional, sehingga masih perlu upaya percepatan penurunan.
2.        Anggaran pemerintah yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan selama kurun waktu 2008 sampai 2012 mengalami peningkatan yaitu 931.728.000 rupiah di tahun 2008 menjadi 1.466.256.000 rupiah di tahun 2012. Namun peningkatan anggaran yang banyak tidak diimbangi dengan penurunan kemiskinan yang cepat.
3.        Berbagai kebijakan yang dikeluarkan lembaga pemerintah ternyata tidak mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Permasalahan utamanya terletak pada struktur kelembagaan pemerintah yang ternyata tidak mampu menyentuh realitas kemiskinan yang sebenarnya. Kebijakan dan kelembagaan pemerintah tidak bisa terlepas dari pengaruh lembaga-lembaga global yang secara tidak langsung ikut menciptakan kemiskinan di Indonesia. Program-program yang telah ditetapkan dan bersifat top down, mulai dari kelembagan internasional sampai pada pemerintah nasional inilah yang kemudian membuat realisasi kebijakan banyak yang tidak tepat sasaran dan tidak bisa mengetahui kebutuhan rakyat yang sebenarnya.
5.        Salah satu program penanggulangan kemiskinan di Indonesia adalah PNPM Mandiri Perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
5.1.  Saran
  1. Pemerintah secara kelembagaan dan pembuatan kebijakannya seharusnya lebih melibatkan masyarakat secara partisipatif dan tidak hanya meletakkan permasalahan kemiskinan sebagai obyek. Pemerintah seharusnya lebih memahami persoalan kemiskinan sebagai sebuah kompleksitas proses sosial yang tidak hanya bisa diselesaikan melalui suatu bentuk kebijakan tanpa memahami spesifikasi dan lokalitas masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Startegi kebijakan dalam mengatasi kemiskinan tidak hanya bisa dilihat dari satu dimensi saja melainkan juga berusaha untuk melihat secara menyeluruh terhadap semua aspek yang bisa menyebabkan kemiskianan secara lokal.
  2. Pemerintah cenderung memberi bantuan secara instan kepada masyarakat miskin, oleh karena itu kebijakan tersebut justru tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Sebaiknya pemerintah menggerakan pemberdayaan masyarakat miskin, sehingga mereka mempunyai bekal hidup dalam jangka panjang bukan hanya pada saat diberi bantuan instan saja.


  
DAFTAR PUSTAKA

Algifari. 1997. Analisis Regresi. Yogyakarta : BPFE - Yogyakarta

Arsyad, Lincolin.1997. Ekonomi Pembangunan, Edisi ketiga.Yogyakarta: STIE-
            YKPN 
Badan Pusat Statistik. Data Jumlah dan Persentase Penduduk Miksin Indonesia
            2008-2012. Jakarta
_________________. Jawa Tengah Dalam Angka Berbagai Tahun Terbitan.  Jawa Tengah
_________________.Pendapatan Domestik Regional Bruto Berbagai Tahun
            Terbitan. Jawa Tengah

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milineum Di Indonesia 2011. Republik Indonesia
Bank Indonesia. 2012. Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Tengah Berbagai tahun. Jawa Tengah.

Bapeda. 2013. Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah               Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018. Jawa Tengah
Gujarati, Damodar N. 2010. Dasar – dasar Ekonometrika. Jakarta : Salemba Empat
http://pnpmjateng.blogspot.com/. Diakses 06 Januari 2015.
Kuncoro,Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) STIM YKPN RPJMD Jawa Tengah. 2013. Jawa Tengah
Sukirno, Sadono. 2011. Makroekonomi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Sarsetyono,Y. 2014. Meningkatkan Pemberdayaan Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Semakin Sejahtera Di Jawa Tengah. Majalah Ilmiah Pawiyatan Vol : Xxi, No : 1, Maret 2014 . Fptk Ikip Veteran Semarang

Tambunan, Tulus. 2011. Perekonomian Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia

Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). 2011. Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SKPD) Jawa Tengah. Jawa Tengah

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).             http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ Diakses 20 April 2014

Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jakarta:Erlangga
www.djpk.depkeu.go.id. Diakses 20 Juli 20