CINTAMI RAHMAWATI
RIANA FAUZIA SAPUTRI
BAB I
Dengan melihat dampak yang ditimbulkan akibat
meluasnya penggunaan mobil maupun kendaraan pribadi, menyebabkan para perencana
wilayah, khususnya perkotaan harus memperhitungkan dan mengatur serta
mengendalikan penggunaan mobil di wilayah metropolitan. Apalagi, jumlah
kecelakaan yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan pribadi semkin meningkat
dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk menganalisis
dampak dari penggunaan kendaraan pribadi dan perluasan jalan raya untuk
selanjutnya diambil kebijakan yang tepat sasaran untuk perencanaan wilayah dan
perkotaan.
Kota Semarang sebagai Ibukota Propinsi Jawa Tengah
terletak di pantai utara pulau Jawa, merupakan simpul yang berada pada lintasan
antara Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur. Disamping berfungsi sebagai
pusat kegiatan pengendalian pemerintahan Propinsi Jawa Tengah, juga sebagai
salah satu kota perdagangan, industri, pendidikan dan kota wisata. Keadaan ini
menyebabkan kegiatan masyarakat kota Semarang cukup tinggi, sehingga hal
tersebut menimbulkan kegiatan transportasi yang cukup dinamis antara demand
dan supply transportasi.
Sementara kegiatan lalu lintas berkembang, kemacetan
dan kecelakaan lalu lintas akan menjadi masalah di kota-kota besar seperti
Semarang. Tingkat kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi menimbulkan kemacetan
dibeberapa ruas jalan terutama didaerah pusat perdagangan, perkantoran, dan
pendidikan yang melibatkan lalu lintas yang masuk, keluar ataupun melewati kota
Semarang.
Pendekatan ekonomi terhadap eksternalitas adalah untuk
melibatkan eksternalitas terhadap biaya dengan membebankan pajak sebesar biaya
marjinal eksternal.
Model sederhana dapat digunakan untuk menjelaskan
eksternalitas kecelakaan dan mengevaluasi beberapa kebijakan akternatif untuk
mengatasi masalah tersebut. Berikut adalah karakteristik rute perjalanan di
dalam area metropolitan:
·
Jarak
·
Biaya perjalanan
·
Biaya waktu
Biaya total dari setiap perjalanan adalah biaya
perjalanan ditambah dengan biaya waktu yang tergantung pada berapa lama
perjalanan tersebut berlangsung.
MATSON et.al (1955)
menyatakan bahwa tingkat kecelakaan didasarkan pada :
- Populasi (kecelakaan per 100.000 penduduk)
- Kendaraan yang terdaftar (kecelakaan per 10.000 kendaraan)
- Kendaraan–km (kecelakaan per 10^6 kendaraan–km)
Selain itu,
upaya untuk mengurangi kemacetan lalu lintas telah diatur di dalam regulasi. Dalam
Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada
Pasal 283 menyebutkan:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak
wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang
mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah).”
Sementara pada Pasal 106 ayat (1)
Undang-Undang No.22 Tahun 2009 sendiri berisi:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.”
Berikut adalah data
kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang.
Tabel
2.1 Jumlah Kejadian Laka Lalulintas Bulan januari-Maret Tahun 2013
No
|
Bulan
|
Jumlah Kejadian
|
MD
|
Luka Berat
|
Luka Ringan
|
Materi
|
1.
|
Januari
|
69
|
13
|
13
|
59
|
Rp 34.950.000
|
2.
|
Februari
|
66
|
17
|
9
|
73
|
Rp 73.950.000
|
3.
|
Maret
|
91
|
22
|
3
|
109
|
Rp 124.550.000
|
|
Jumlah
|
226
|
52
|
25
|
241
|
Rp 223.450.000
|
Sumber: Polrestabes Semarang, 2013
Berdasarkan
Tabel 2.1, dapat dilihat bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang
cenderung meningkat dari bulan Januari hingga Maret 2013. Bahkan kecelakaan
tersebut juga menimbulkan biaya yang tidak sedikit dan cenderung mengalami
kenaikan setiap bulannya. Oleh karena itu, kecelakaan menimbulkan suatu biaya
yang sia-sia atau merugikan bagi masyarakat sehingga perlu kebijakan dan
peraturan untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat kecelakaan
lalu lintas.
Langkah pertama adalah dengan menentukan sisi
permintaan akan perjalanan dan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Eksternalitas
Kecelakaan dan Pajak kemacetan
Sumber:
O’Sullivan (2007)
Keseimbangan antara permintaan dan eksternalitas
dari perjalanan kota ditunjukkan pada Gambar 2.1. Berdasarkan Gambar 2.1,
keseimbangan antara penggunaan kendaraan pribadi dengan transportasi umum
berbeda. Pada titik i, orang akan cenderung menggunakan kendaraan pribadi
karena biaya perjalanan menjadi lebih rendah dengan jumlah kendaraan lebih
besar, yaitu sebanyak 1600 kendaraan dan cenderung mengakibatkan kemacetan.
Untuk mengurangi kemacetan tersebut, maka terdapat biaya yang harus dibayarkan
berupa biaya perjalanan sosial (social
trip cost) melalui pajak sehingga kendaraan pribadi menjadi berkurang dan
mengurangi kemacetan. Akan tetapi, keadaan tersebut mengurangi manfaat marjinal
mereka sehingga mereka lebih cenderung menggunakan jalan raya dengan kendaraan
pribadi.
Berdasarkan data dari Direktorat Lalu Lintas Polda
Jawa Tengah, jumlah kendaraan bermotor di kota Semarang adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Jumlah Kendaraan Pribadi
Tahun 2008-2012
No.
|
Tahun
|
Roda Dua
|
Roda Empat
|
Total
|
1
|
2008
|
66.921
|
17.893
|
84.814
|
2
|
2009
|
67.279
|
18230
|
85.509
|
3
|
2010
|
77.373
|
20.517
|
97.890
|
4
|
2011
|
65.436
|
22.392
|
87.828
|
5
|
2012
|
63.700
|
24.080
|
87.780
|
Sumber:
Direktorat Latu Lintas, Polda Jawa Tengah
Dari tahun ke tahun jumlah kepemilikan kendaraan
bermotor pribadi terus meningkat. Berdasarkan tabel diatas, tercatat sebanyak
84.814 untuk kendaraan roda dua dan empat di tahun 2008 meningkat hingga 87.780
di tahun 2012. Hal ini menunjukan bahwa jumlah kendaraan bermotor pribadi
meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Makin
besar kegiatan ekonomi maka akan meningkatkan mobilitas manusia maupun barang. Peningkatan
mobilitas harus diimbangi dengan infrastruktur yang memadai agar tidak
menimbulkan permasalahan yang lebih lanjut. Infrastruktur disediakan oleh
pemerintah karena pasar yang tidak dapat mengadakanya. Infrastruktur berupa
barang atau jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak untuk
peningkatan efisiensi dalam kegiatan ekonomi. Maka dari itu, infrastruktur
dapat dikategorikan sebagai barang publik.
Peningkatan jumlah dan mobilitas masyarakat yang
tidak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai akan menimbulkan masalah
transportasi. Masalah tersebut berbentuk kemacetan yang akan menimbulkan
ketidak efisiensian dalam perekonomian. Kemacetan akan menimbulkan beberapa dampak
buruk seperti ketidak lancaran arus barang, inefisiensi waktu bagi para pekerja,
jumlah kecelakaan yang meningkat, pemborosan bahan bakar, polusi udara, dan
lain-lain.
Berdasarkan Gambar 2.1, kita dapat mengetahui
perbedaan antara biaya perjalanan swasta dan sosial. Biaya perjalanan sosial
merupakan hasil dari biaya swasta ditambah dengan biaya eksternal. Ketika tidak
ada kemacetan, biaya eksternal sebesar nol, sehingga biaya sosial sama dengan
biaya swasta yang ditunjukkan pada titik i. Akan tetapi, ketika kemcetan
terjadi, biaya sosial menjadi naik atau melebihi biaya swasta sehingga
keseimbangan menjadi e.
Terdapat beberapa alternatif dalam definisi biaya
sosial dan swasta. Biaya perjalanan swasta adalah biaya per supir sehingga kita
dapat menyebutnya sebagai biaya rata-rata perjalanan. Di sisi lain, biaya
perjalanan sosial adalah biaya sosial yang berhubungan dengan kendaraan
tambahan, sehingga dapat disebut sebagai biaya marjinal perjalanan.
Yang dimaksud dengan jumlah kendaraan
ekuilibrium dapat dilihat pada Gambar
2.1. Seseorag akan menggunakan jalan raya jika keinginannya untuk membayar
perjalanan tersebut lebih besar dari biaya perjalanan swasta. Kurva permintaan
pada gambar di atas memotong biaya swasta pada titik i, menunjukkan bahwa
jumlah ekulibrium adalah 1600 kendaraan dan biaya ekuilibrium perjalanan adalah
4,33 dolar. Pada jumlah 1600 kendaraan, keinginan untuk membayar lebih besar
daripada biaya perjalanan swasta sehingga mereka menggunakan jalan raya.
Di sisi lain, Gambar 2.1 juga menjelaskan volume
optimum dari penggunaan kendaraan. Prinsip marjinal dapat digunakan untuk
mengidentifikasi jumlah efisein kendaraan secara sosial. Berdasarkan prinsip
marjinal, kita dapat meningkatkan tingkat aktivitas hingga manfaat sosial
marjinal sama dengan biaya sosial marjinal. Tidak ada eksternalitas positif
pada perjalanan, sehingga kurva permintaan menunjukkan manfaat sosial dari
perjalanan. Biya sosial marjinal ditunjukkan dengan kurva biaya perjalanan
sosial pada Gambar 2.1. Kurva permintaan berpotongan dengan kurva biaya sosial
pada titik e, sehingga volume optimum adalah 1400 kendaraan. Pada jumlah
kendaraan 1400, manfaat sosial perjalanan lebih besar daripada biaya sosial
sehingga penggunaan jalan efisien secara sosial.
Jumlah ekuilibrium melebihi jumlah optimum karena
setiap pengendara menolak biaya kecelakaan yang dibebankan pada orang lain.
Tambahan kendaraan akan memperlambat lalu lintas, sehingga memaksa pengendara
lain untuk menghabiskan waktu lebih lama di jalan raya.
Solusi sederhana untuk mengatasi masalah kemacetan adalah
dengan menggunakan pajak kemacetan untuk menginternalisasi eksternalitas. Pajak
kemacetan meyakinkan bahwa para pembuat keputusan menghadapi biaya sosial
secara penuh dari perjalanan sehingga jalan raya dapat digunakan secara
efisien.
Manfaat dari adanya pajak kemacetan adalah sebagai
berikut:
·
Mengurangi biaya waktu. Pajak akan mengurangi
kemacetan sehingga perjalanan menjadi lebih cepat.
· Pajak pendapatan lebih rendah. Pemerintah dapat
menggunakan pajak kemacetan untuk mengurangi jenis pajak lain.
Setelah mempelajari manfaat dari pajak kemacetan di
atas, kita dapat mengetahui bahwa pajak kemacetan dapat meningkatkan efisiensi
perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Kita dapat menggunakan
kurva utilitas untuk menunjukkan implikasi dari pajak kemacetan untuk
pertumbuhan perkotaan. Pada kasus ini, suatu kota yang mengimplementasikan
pajak kemacetan akan tumbuh pada pengeluaran di kota-kota lain dalam regional
tersebut.
Gambar 2.2 Pajak Kemacetan Menyebabkan
Pertumbuhan
Gambar 2.2 menunjukkan dampak yang ditimbulkan dari
pajak kemacetan terhadap pertumbuhan perkotaan. Kurva di atas menunjukkan kurva
utilitas antara dua kota. Apabila suatu kota mengimplementasikan pajak
kemacetan dan menggunakan pajak tersebut untuk memotong pajak pendapatan, maka
kurva utilitas akan naik. Hal tersebeut disebabkan oleh adanya pajak kemacetan
dapat mengurangi disekonomis dari ukuran kota. Disekonomis berupa suara,
polusi, dan kemacetan sebagai akibat kenaikan populasi, menarik kurva utilitas
ke bawah seiring pertumbuhan kota. Pengurangan pajak mempengaruhi kurva
kepuasan dengan dua cara:
·
Kurva mempunyai slope positif seiring
pertumbuhan populasi karena agolomerasi ekonomi mendominasi disekonomi seiring
pertumbuhan penduduk yang semakin besar
· Ketika kurva utilitas menjadi negatif, slope
tersebut tidak begitu curam. Pada saat itu, disekonomi lebih lemah, yang
berarti bahwa kepuasan menurun lebih lambat seiring populasi meningkat.
Sesuai dengan pemaparan di atas, dapat diketahui
bahwa pajak kemacetan akan memicu efisiensi dan pertumbuhan kota. Pada bagian
ini, akan dibahas beberapa isu praktek pajak kemacetan yang terjadi melalui
beberapa pertanyaan di bawah ini:
1. Bagaimana
pajak kemacetan sempurna berubah seiring waktu?
2. Seberapa
besar pajak kemacetan?
3. Pengalaman
apa yang didapatkan suatu kota dengan menerapkan harga perjalanan kota?
Pajak kemacetan sama dengan gap antara biaya swasta dan biaya sosial dari perjalanan. Berikut
gambar yang menunjukkan puncak dari waktu-waktu perjalanan
Gambar 2.3 Pajak Kemacetan
Selama Periode Puncak versus Penurunan
Sumber: O’Sullivan (2007)
Pada Gambar 2.3, kurva permintaan relatif tinggi
selama periode puncak sehingga meningkatkan selisih antara biaya swasta dan
sosial perjalanan yang ditunjukkan pada titik p dan q sehingga menimbulkan
pajak kemacetan lebih tinggi. Selama periode minimum, selisih antara biaya
swasta dan sosial rendah yang ditunjukkan pada titik r dan s, sehingga pajak
kemacetan lebih rendah.
Berdasarkan Studi Sugiharto (2013), Semarang perlu menerapkan
pajak progresif sebesar 13,4 persen sebagai salah satu solusi untuk mengurangi
kemacetan. Berdasarkan hasil penelitiannya, pajak progresif kendaraan dapat
secara efektif mengurangi kemacetan lalu lintas di Jalan Siliwangi Kota
Semarang. Pembebanan pajak progresif sebesar 13,4 persen dapat berjalan efektif
jika dilakukan pada cara yang tepat dan tidak ada pihak yang melakukan
kecurangan, khususnya pada pemerintah.
Di Kota Semarang, belum ada penerapan pajak
kemacetan secara resmi untuk jalan raya umum. Solusi yang digunakan untuk
mengurangi kemacetan diantaranya; (1) menerapkan tarif parkir yang lebih tinggi
untuk kendaraan pribadi khususnya mobil, (2) membersihkan badan jalan dari
parkir liar, (3) membangun jalan seperti Fly
Over seperti yang dibangun dari Jalan Siliwangi menuju wilayah Semarang
Barat, serta (4) membangun jalan-jalan tol khusus bagi kendaraan roda 4 dengan
tarif sebagai berikut:
Tabel 2.3 Tarif Tol Semarang
Sumber: Jasamarga.com
Jalan Tol Semarang adalah satu-satunya
jaringan jalan tol yang berada di Semarang Propinsi Jawa Tengah yang merupakan
bagian dari jaringan jalan umum yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi
kemacetan lalu lintas di kota Semarang, terutama lalu lintas yang hanya lewat
kota Semarang (lalu lintas menurun) dan untuk meningkatkan pemerataan dan
efisiensi biaya operasional dan waktu tempuh.
Jaringan Jalan Tol Semarang terdiri dari
tiga seksi yaitu :
- Seksi A adalah ruas jalan Krapyak–Jatingaleh sepanjang 8.000 km, dengan tipe jalan dua lajur dua arah, lebar perkerasan 2 х 3,5 meter dan dioperasikan sejak tahun 1987.
- Seksi B adalah ruas jalan Jatingaleh–Srondol sepanjang 6.000 km, dengan tipe jalan empat jalur dua arah, lebar perkerasan 2 (2 х 3,5) meter dioperasikan sejak tahun 1983.
- Seksi C adalah ruas jalan Jangli–Kaligawe (Pelabuhan) sepanjang 10.000 km, dengan tipe jalan empat jalur dua arah, lebar perkerasan 2 (2 х 3,5) meter dioperasikan sejak tahun 1997.
Beberapa kebijakan untuk mengurangi kemacetan telah
dianjurkan. Sebelum mengetahui kebijakan alternatif dari pajak kemacetan, perlu
dipertimbangkan 4 cara bagaimana pajak kemacetan mengurangi volume lalu lintas:
1.
Substitusi modal. Pajak meningkatkan biaya
perjalanan seorang pengendara relatif terhadap area parkir mobil, dan
transportasi massal (bus, subway, dan kereta), menyebabkan beberapa pengguna
jalan beralih ke moda transportasi lain.
2.
Waktu perjalanan. Pajak kemacetan menjadi paling
tinggi saat periode puncak, menyebabkan pengguna jalan beralih ke waktu yang
berbeda. Karena jadwal kerja dan sekolah secara relatif tidak fleksibel,
komuter dan pelajar cenderung tidak akan mengganti waktu perjalanan. Sedangkan,
perusahaan akan mempunyai insentif untuk merubah jadwal kerja untuk mengijinkan
pekerjanya menghindari perjalanan mahal selama periode puncak.
3.
Rute perjalanan. Pajak kemacetan tertinggi
adalah pada rute macet, menyebabkan beberapa pengguna jalan beralih ke rute
alternatif.
4.
Pilihan lokasi. Pajak kemacetan meningkatkan
biaya unit perjalanan, sehingga menyebabkan beberapa komuter mengurangi jarak
komuter mereka. Beberapa pekerja mungkin akan pindah ke tempat yang lebih dekat
dengan tempat kerjanya, dan yang lainnya kemungkinan akan mengalihkan
pekerjaannya ke tempat yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Beberapa alternatif kebijakan untuk mengurangi
kemacetan yang dapat disarankan adalah:
1. Pajak
bensin
2. Subsidi
untuk transportasi umum
3. Menghilangkan
subsidi parkir
Bagian ini akan membahas bagaimana pemerintah yang
membebankan pajak kemacetan dapat menggunakan peraturan sederhana untuk
menentukan lebar jalan. Jika total penerimaan dari pajak kemacetan melebihi
biaya dari pembangunan jalan, pemerintah harus memperlebar jalan. Lebar jalan
optimum meningkat seiring dengan penerimaan pajak kemacetan untuk membayar
jalan tersebut.
Penerapan kebijakan tersebut memerlukan suatu latar
belakang pada komponen yang berbeda dari biaya perjalanan dan jalan raya.
Gambar 2.4 menunjukkan dua kurva biaya, satu untuk jalan dua jalur, kedua untuk
jalan empat jalur. Sekilas, Gambar 2.4 terlihat seperti spageti yang tidak
teratur, tetapi terdapat suatu logika pada kurva tersebut.
Gambar 2.4 Kapasitas Meluas
Seiring Penerimaan Pajak Kemacetan Sama dengan Biaya Jalan
ATC pada Gambar 2.4 merupakan biaya total rata-rata
(average total costi). Ketika volume
lalu lintas meningkat, terdapat dua konflik yang mempengauhi biaya total rata-rata:
·
Penurunan pada biaya jalan rata-rata. Biaya
pembangunan dari jalan dua jalur adalah tetap, dan semakin besar volume, maka
semakin rendah biaya jalan per kendaraan.
·
Kenaikan biaya perjalanan pribadi. Ketika ambang
kemcetan dilalui, maka biaya perjalanan pribadi meningkat.
Kurva ATC berbentuk U karena penurunan pada biaya
jalan rata-rata terjadi pada volume kecil, tetapi biaya perjalanan yang
meningkat terjadi pada volume yang lebih besar. Unsur penting lain dari kurva
ATC adalah baha selisih antara ATC dan biaya perjalanan pribadi merupakan biaya
jalan rata-rata (biaya tetap rata-rata).
Kurva biaya untuk jalan empat jalur menunjukkan
manfaat dari pembangunan jalan dengan kapasitas yang lebih besar. Kurva ATC 4
jalur mencapai minimum pada volume yang dua kali lebih besar dari volume jalan
2 jalur. Selain itu, biaya perjalanan pribadi tetap horisontal seiring dengan
penambahan volume dua kali lipat, serta lebih rendah untuk semua volume. Begitu
halnya dengan kurva biaya sosial dimana kurva biaya sosial jalan 4 jalur lebih
rendah daripada kurva untuk jalan dua jalur. Meskipun demikian, biaya jalan
empat jalur menjadi dua kali lebih banyak untuk dibangun.
Keseimbangan jalan dua jalur ditunjukkan pada titik
i selama pemerintah mengenakan pajak kemacetan dengan volume lalu lintas V2.
Pajak kemacetan ditunjukkan oleh selisih antara biaya perjalanan sosial (titik
i) dengan biaya perjalanan pribadi (titik k). Biaya jalan rata-rata ditunjukkan
oleh selisih antara kurva biaya total rata-rata (titik j) dengan biaya
perjalanan pribadi (titik k). Pajak kemacetan per kendaraan melebihi biaya
jalan per kendaraan, yang berarti bahwa penerimaan pajak kemacetah melebihi
biaya pembangunan jalan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemacetan yaitu
percampuran pergerakan lokal dengan pergerakan antar kota, kapasitas jaringan
jalan yang tidak sepadan dengan intensitas pergerakan dan kapasitas jaringan
jalan dalam kota yang tereduksi (Nugroho, 2009). Tingkat kepadatan lalulintas
di Kota Semarang dapat dilihat pada tabel 1.2. V/c ratio menggambarkan perbandingan
antara volume kendaraan dan kapasias jalan. Semakin mendekati 1 nilai v/c
ratio maka semakin padat lalulintas.
Tabel 2.3 Tingkat Kepadatan Lalulintas
di Kota Semarang
Berdasarkan
Tingkat Pelayanan Jalan (Level of Service)
No
|
Ruas Jalan
|
Volume
|
Kapasitas
|
V/c Rasio
(smp/jam)
|
Kategori
|
1
|
Jl.
Kaligawe
|
5176,25
|
5750,16
|
0,900
|
E
|
2
|
Jl.
Teuku Umar
|
4714,65
|
5928,00
|
0,795
|
D
|
3
|
Jl.
Siliwangi
|
5347,25
|
7610,80
|
0,703
|
D
|
4
|
Jl. MT
Haryono
|
2922,80
|
4167,82
|
0,701
|
D
|
5
|
Jl.
Gajahmada
|
3726,90
|
5397,89
|
0,690
|
C
|
6
|
Jl. Jendral
Sudirman
|
5133,25
|
7907,33
|
0,649
|
C
|
7
|
Jl.
Bridjen Sudiarto
|
5199,00
|
8006,17
|
0,639
|
C
|
8
|
Jl.
Imam Bonjol
|
3090,40
|
5015,09
|
0,618
|
C
|
9
|
Jl. MH
Tamrin
|
3264,30
|
5337,70
|
0,612
|
C
|
10
|
Jl. Soegijopranoto
|
5161,75
|
8525,09
|
0,605
|
C
|
11
|
Jl.
Veteran
|
1918,80
|
3331,17
|
0,594
|
B
|
12
|
Jl. Dr
Cipto
|
2356,80
|
5568,08
|
0,423
|
B
|
13
|
Jl.
Raya Boja
|
1271,35
|
3046,16
|
0,417
|
B
|
14
|
Jl.
Pemuda
|
2745,30
|
6635,08
|
0,414
|
B
|
15
|
Jl.
Kompol Maksum
|
1613,55
|
4461,60
|
0,362
|
B
|
16
|
Jl.
Setiabudi
|
3765,40
|
6015,09
|
0,626
|
C
|
17
|
Jl
Perintis Kemerdekaan
|
3169,95
|
6015,09
|
0,527
|
C
|
18
|
Jl.
Raya Walisongo
|
4141,10
|
6320,80
|
0,650
|
C
|
19
|
Jl. Dr
Soetomo
|
2407,25
|
5015,09
|
0,480
|
C
|
Sumber :
Dinas Perhubungan Kota Semarang (2006)
Keterangan
:
0,0-0,19
: Kategori A : Arus bebas, volume rendah, kecepatan tinggi
0,20-0,44
: Kategori B : Arus stabil dan mulai ada pembatasan kecepatan
0,45-0,69 : Kategori C : Arus stabil
kenyamanan berkendara turun dan pergerakan dibatasi
0,70-0,84
: Kategori D : Arus mendekati tidak stabil, kecepatan mulai terganggu oleh
kondisi jalan
0,86-100,00:
Kategori E : Terjadi kemacetan lalulintas
Semakin tinggi V/c ratio suatu ruas jalan maka semakin
rendah pula tingkat pelayanan yang dimiliki oleh jalan tersebut serta tingkat
kepadatannya makin tinggi. Berdasarkan tabel 2.3 ruas jalan yang memiliki
kepadatan tertinggi adalah jalan Kaligawe yang memiliki nilai v/c ratio sebesar
0,9 dengan kategori E. Dengan demikian pada ruas jalan kaligawe terjadi
kemacetan lalulintas. Sedangkan jalan Teuku Umar memiliki nilai v/c ratio sebesar
0,795 dengan kategori D. Menghindari permasalahan transportasi dirasa sangat
penting direncanakan karena memiliki dampak yang merugikan. Menurut Tamin
(2000), masalah lalulintas atau kemacetan menimbulkan kerugian yang sangat
besar bagi pemakai jalan, terutama dalam hal pemborosan waktu, pemborosan bahan
bakar, pemborosan tenaga dan rendahnya kenyamanan berlalulintas serta
meningkatnya polusi baik suara maupun polusi udara. Sedangkan menurut Basuki
(2009), kerugian paling dasar dari kemacetan lalulintas adalah kerugian akan
waktu tempuh, yaitu adanya pemborosan bahan bakar sehingga adanya kenaikan
biaya operasi kendaraan. Kerugian ini berupa bertambahnya biaya operasional kendaraan
yang semestinya tidak perlu dikeluarkan apabila kecepatannya bisa mencapai
kecepatan desain perencanaan. Untuk menghindari permasalahan transportasi maka
harus dipikirkan sejak dini untuk menciptakan sistem transportasi yang baik.
Pembenahan jalan, rambu-rambu jalan, serta pengadaan alat transportasi masal
yang baik harus direncanakan dengan matang. Alat transportasi masal ditujukan
untuk mengurangi kepadatan jalan. Dibarengi dengan kebijakan yang baik maka
sistem alat transportasi masal akan menyerap para pengguna kendaraan pribadi
dengan beralih menggunakan alat transportasi masal.
Penerimaan yang berlebih dari pajak kemacetan
merupakan sinyal kepada pemerintah untuk membangun jalan lebih luas. Untuk
menambah kapasitas, pemerintah dapat menambah dua jalur, membuat menjadi 4
jalur. Keseimbangan baru ditunjukkan pada titik e, dimana biaya perjalanan
sosial memotong kurva permintaan. Pajak kemacetan ditunjukkan selisih antara e
dan f. Selisish tersebut juga merupakan gap
antara ATC jalan 4 jalur atau biaya
jalan rata-rata dengan biaya perjalanan pribadi. Dengan kata lain, untuk jalan
4 jalur, pajak kemacetan sama dengan biaya jalan rata-rata, sehingga penerimaan
pajak cukup untuk membayar jalan. Orang-orang yang menggunakan jalan membayar
seluruh biaya pembangunan jalan tersebut.
Aturan kapasitas membuat pemerintah perlu untuk
memperlbar jalan pada titik dimana penerimaan pajak kemacetan sama dengan biaya
pembangunan jalan. Selain itu, dalam hal keadilan dan persamaan (pembayar
penggunaan jalan), peraturan tersebut meningkatkan lebar jalan efisien secara
sosial.
Ada banyak peristiwa tentang jalan raya yang tidak mengurangi
pajak setelah adanya pelebaran jalan. Alasannya adalah bahwa permintaah untuk
perjalanan periode puncak sangat elastis. Banyak pengguna jalan menghindari
untuk menggunakan jalan yang macet karena perjalanan sangat lambat. Tetapi,
ketika jalan diperlebar dan perjalanan menjadi lebih cepat, mereka yang beralih
dari kecepatan lambat mulai menggunakan jalan tersebut. Fenomena tersebut
disebut sebagai permintaah Tersembunyi. Small (1992) mengungkapkan bahwa ada
istilah “tentara cadangan dari yang tidak terpenuhi” yang akan beralih ke jalan
macet yang sebelumnya secepat peningkatan kecepatan perjalanan akibat kenaikan
kapasitas. Permintaan tersebut akan mengisi sebagian atau seluruh kapasitas
selama periode puncak.
Penggunaan pajak kemacetan untuk membayar jalan muncul dengan
alasan persamaan dan efisiensi. Di Kota Semarang tarif pajak jalan dikenakan
bagi pengguna jalan tol. Besar tarif ditentukan berdasarkan golongan kendaraan,
sesuai yang terlampir pada Tabel 2.3.
Penggunaan kendaraan pribadi menyebabkan dua macam
eksternalitas lingkungan, yaitu polusi udara dan gas rumah kaca. Kendaraan
bermotor mengeluarkan senyawa organik volatil (VOC), karbon monoksida (CO),
nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2). VOC bereaksi
dengan NOx di dalam atmosfer membentuk Ozon dan juga menimbulkan benda-benda
khusus. Kualitas udara yang buruk dapat menimbulkan masalah pernapadan dan
menyebabkan kematian prematur. Kendaraan juga dapat meningkatkan gas rumah kaca
yang berperan terhadap perubahan iklim.
Pendekayan ekonomi terhadap polusi udara adalah
menginternalisasi eksternalitas. Suatu pajak yang sama dengan biaya eksternal
marjinal dari polusi akan menyebabkan pengendara menggabungkan biaya penuh dari
keputusan berkendara, sehingga mengarah pada tingkat efisien sosial dari
polusi. Pajak polusi akan mendorong orang untuk membeli mobil yang lebih bersih
dan berkendara lebih dekat. Pendekatan langsung adalah dengan memasang alat
monitor di setiap mobil untuk mengukur emisi dan mengenakan biaya kepada
pemilik atas emisi yang telah dihasilkan.
Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah dengan
menggunakan pajak bensin untuk meningkatkan biaya perjalanan pribadi. Pajak
tersebut akan meningkatkan biaya setiap mil yang dikendarai, sehingga akan
mengurangi total mil jarak yang dikendarai dan mengurangi polusi udara. Masalah
dari pajak bahan bakar adalah bahwa setiap pengendara akan mebayar pajak yang
sama per galon, tidak peduli berapa banyak polusi yang ditimbulkan per galon
bensin. Oleh karena itu, pajak bensin akan menurunkan polusi melalui
pengurangan jarak mil yang dikendarai tetapi tidak akan mendorong orang untuk
mengendarai mobil yang lebih bersih. Tentu saja jika standar emisi yang
ditetapkan oleh pemeritah mengakibatkan perbedaan yang relatif kecil dalam
emisi per galon setiap model mobil, kurangnya insentif untuk membeli mobil yang
lebih bersih akan kurang dari sebuah isu.
Gambar 2.5 Efek Pasar dari Pajak Bensin
Sumber:
O’Sullivan (2007)
Gambar 2.5 menunjukkan efek penggunaan pajak bensin
untuk menginternalisasi eksternalitas dari polusi udara. Titik i menunjukkan
keseimbangan awal, dimana kurva penawaran tidak melibatkan polusi apapun atau
pajak rumah kaca. Harga ekuilibrium adalah 2.00 dolar dan kuantitas
keseimbangan adalah 100 juta galon. Small dan Kazimi (1992) mengestimasi bahwa
biaya eksternal terkait polusi sekitar 0,02 dolar per mil kendaraan (atau 2.400
dolar untuk seluruh masa mobil). Dengan rata-rata bahan bakar 20 mil per galon,
pajak bahan bakar 0,40 dolar per galon. Pajak tersebut mendorong kurva
penawaran ke atas sebesar 0,40 dolar, meningkatkan harga ekuilibrium dari 2,00
dolar menjadi 2,20 dolar dan menurunkan kuantitas dari 100 menjadi 90.
Suatu alternatif untuk mengurangi polusi udara adalah
dengan mensubsidi transportasi massa. Subsidi transportasi akan mendorong orang
beralih ke bus dan subway, yang mengakibatkan polusi lebih sedikit per
penumpang. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, menggunakan subsidi
transportasi untuk mengurangi masalah lalu lintas, salah satunya kemacetan. Akan
tetapi, pengguna jalan tidak begitu responsif terhadap perubahan harga
transportasi, sehingga subsidi transportasi tidak akan mengurangi polusi
kendaraan terlalu banyak. Selain itu, mencocokkan harga kendaraan pribadi
dengan harga transportasi umum cenderung kepada harga transportasi secara umum,
dimana akan cenderung menjadi misalokasi sumber daya dengan tenaga kerja, modal
dan energi yang terlalu banyak.
Konsekuensi ekonomi dan lingkungan dari akumulasi gas rumah
kaca tetap tidak menentu. Ketika karbon meningkat, ilmuwan memperkirakan
terjadinya gagal panen seperti biaya substansial untuk melindungi wilayah
pantai dari kenaikan air, tetapi sulit mengkuantisasi konsekuensi tersebut.
Dalam kebijakan lingkungan, jumlah kuncinya adalah biaya eksternal dari per ton
karbon yang dihasilkan, yang menentukan pajak karbon yang sesuai. Kita dapat
menggunakan Gambar 2.5 untuk menunjukkan efek pajak bensin-karbon. Pajak
sebesar 0,13 dolar akan mendorong kurva penawaran ke atas, sehingga
meningkatkan harga ekuilibrium dan menurunkan kuantitas ekuilibrium. Harga
tersebut akan meningkat setengah dari pajak, yang berarti bahwa sekitar
setengah pajak akan digeser kembali pada suplier minyak mentah.
Kecelakaan lalu-lintas merupakan indikator utama
tingkat keselamatan jalan raya. Kecelakaan lalulintas adalah kejadian pada lalulintas jalan dimana paling
sedikit melibatkan satu kendaraan yang mengakibatkan kerusakan yang merugikan pemiliknya atau korbannya
(Suwardi, 2009). .Di negara maju perhatian dan upaya terhadap
permasalahan ini terus dikembangkan demi meminimalkan kuantitas dan kualitas
kecelakaan. Namun di negara berkembang seperti Indonesia angka kecelakaan
lalu-lintas dimaklumi masih sangat tinggi, sehingga diperlukan upaya-upaya yang
lebih serius lagi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Pemerintah telah banyak melakukan usaha penanggulangan kecelakaan lalu
lintas, diantaranya pemberian rambu–rambu lalu lintas namun masalah tersebut tidak dapat terselesaikan dengan mudah. Jumlah kecelakaan lalu lintas semakin tahun semakin bertambah
jumlahnya baik yang mengalami luka ringan, luka berat bahkan sampai meninggal
dunia.
Kecelakaan sering terjadi perkotaan
sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Penduduk merupakan faktor utama dalam perkembangan suatu
kota yang diiringi dengan pertumbuhan wilayah dan perekonomian dan kota-kota pendukung sekitarnya serta kota-kota yang memiliki
pusat-pusat kegiatan tertentu. Penyebaran kegiatan ekonomi tidak terpusat di satu tempat saja. Hal ini dikarenakan kebutuhan
tersebut tidak dapat dipenuhi di sekitar tempat tinggal.
Begitu juga tingkat kecelakaan di Kota Semarang semakin meningkat jumlahnya.
Tabel 2.4 Data Kecelakaan Lalu Lintas di Kota Semarang Tahun
2010-2012
Tahun
|
Jumlah
Kecelakaan
|
Meninggal Dunia
|
Luka
Berat
|
Luka
Ringan
|
2010
|
1708
|
249
|
313
|
1827
|
2011
|
721
|
65
|
56
|
901
|
2012
|
1049
|
176
|
92
|
1252
|
Sumber : Polda Jateng, 2012.
Berdasarkan data jumlah kecelakaan
lalu lintas di Kota Semarang tahun 2010-2012, terjadi penurunan jumlah
kecelakaan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2011. Namun pada tahun 2012
jumlah kecelakaan meningkat lagi yang didominasi dengan kecelakaan dengan luka
ringan. Berikut adalah data terbaru jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2013 di
Kota Semarang.
Semakin hari angka
kecelakaan semakin meningkat hal itu disebabkan oleh adanya beberapa faktor
baik faktor human (manusia),
faktor kendaraan, faktor jalan (sarana prasarana) maupun faktor cuaca.
Dan sebagian besar faktor penyebab laka lantas adalah faktor manusia.
Kecelakan lalu lintas terjadi dimulai dari Pelanggaran lalu lintas. Pada Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian lalu lintas di wilayah
Perkotaan, Direktorat Bina Sistem Lalu
Lintas dan Angkutan Kota Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, menyatakan
bahwa faktor penyebab kecelakaan biasanya diklasifikasikan identik
dengan unsur–unsur sistem transportasi, yaitu pemakai jalan (pengemudi dan pejalan
kaki), kendaraan, jalan dan lingkungan, atau kombinasi
dari dua unsur atau lebih. Kecelakan lalu lintas
membutuhkan penanganan serius mengingat besarnya kerugian yang diakibatkannya.
Keselamatan di perjalanan yang baik akan menggairahkan mengadakan kegiatan
perjalanan baik bekerja, sekolah, dagang maupun rekreasi. Karena lalu lintas
mayoritas jarak jauh, maka kecepan rata – rata tinggi sehingga sering terjadi
kecelakaan.
Bagi penduduk miskin yang tinggal di
desa dan berdekatan dengan pusat kota banyak bermobilisasi sebagai pekerja
komuter (mobilitas ulang alik). Meskipun mereka menyadari akan sulitnya mencari
pekerjaan di kota besar, mereka memiliki harapan besar baik dalam pekerjaan,
fasilitas, tanpa mempermasalahkan jenis pekerjaan atau status pekerjaan yang
mereka tekuni. Dengan melaksanakan komuter akan mendapat pendapatan yang lebih
baik dibanding didesa sehingga akan membantu perekonomian dengan harapan
mencapai kesejahteraan sehingga terhindar dari kemiskinan
Para pekerja dengan upah rendah
yang bekerja di pusat kota jauh dari pekerjaan yang ada di dipinggiran kota, mengakibatkan banyak
komuter atau penglaju dari pusat kota ke daerah pingiran, dengan upah rendah,
dan tingkat pengangguran tinggi. Meskipun banyak penduduk
yang bolak-balik dari tempat kerja yang
di pusat kota ke pinggiran kota,
para komuter akan mengeluaran biaya yang
lebih banyak atau mahal dan
memakan waktu karena harus menggunakan angkutan umum karena
sebagian besar rumah tangga yang berpenghasilan
rendah tidak memiliki mobil
sendiri. Sekitar 27 persen dari
keluarga berpenghasilan rendah di perkotaan (dengan pendapatan
kurang dari 20.000 dolar) tidak memiliki
mobil.
Pada jaman yang dituntut dengan
mobilitas tinggi seperti sekarang ini, jika tidak memiliki akses transportasi
seperti mobil akan mengurangi mobilitas dan produktifitas. Karena sebagian
waktu akan terbuang dijalan dan menunggu. Selain itu biaya untuk para komuter
dari pinggir kota ke pusat kota dan sebaliknya pada setiap harinya membutuhkan
biaya yang tinggi. Sehingga, upah yang diterima akan dialokasikan untuk
kebutuhan sehari-hari dan mengurangi porsinya untuk kebutuhan transportasi
komuter.
Tenaga kerja dengan ketrampilan
rendah memiliki akses menggunakan mobil akan mendapat manfaat, yaitu :
1. Para pekerja di pusat
kota yang komuter ke pinggiran kota menggunakan angkutan umum,
beralih ke sebuah mobil akan menghemat sekitar 19
menit setiap hari.
2. Pekerja
dengan ketrampilan rendah jika dapat menggunakan akses mobil maka akan mencari
pekerjaan di daerah yang lain dengan prospek lebih bagus dan akan menemukan kesempatan kerja.
3. Pekerja
dengan ketrampil rendah,
dengan mobil akan lebih mungkin
untuk menyelesaikan program pelatihan
kerja dan mendapatkan pekerjaan.
Perjalanan automobil menimbulkan eksternalitas
berupa kemacetan, polusi, emisi karbon, dan kecelakaan. Berikut adalah beberapa
poin dari pembahasan di atas:
1. Pengendara mobil mendasarkan keputusan
perjalanan mereka pada biaya pribadi dibandingkan dengan biaya sosial sehingga
ekuilibrium volume lalu lintas melebihi volume efisien sosial.
2.
Pajak kemacetan menginternalisasi eksternalitas
kemacetan.
3. Internalisasi eksternalitas lingkungan dari
kendaraan akan membutuhkan pajak sekitas 0,53 dolar per galon bensin.
4. Orang-orang dengan kendaraan yang nyaman
berkendara lebih ceroboh, sehingga membahayakan pengguna sepeda dan pejalan
kaki.
5.
Biaya eksternal paling tinggi biasanya untuk
pengendara muda dan truk pickup.
Bappeda
Jawa Tengah, Puspics UGM. 1999. Penyusunan Peta (Basia Data Grafis) Sistem
Jaringan Jalan di Jawa Tengah. Laporan Akhir. Yogyakarta : Puspics UGM.
O’Sullivan,
Arthur. 2007. Urban Economics. Singapore: Mc Graw Hill
Matson,
T.M.et al. 1995. Traffic Engineering. Mc. Graw Hill.
Putra,
Tutus Kenanthus Avica . 2013. Analisis Preferensi Masyarakat Terhadap Bus
Rapid Transit (BRT) Trans Semarang. Skripsi. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Sasono,
Djoko. 2012. Kebijakan Umum Transportasi Perkotaan: Menuju Sustainable
Urban Transportation Di Indonesia. Kementerian
Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
Sugiharto, Arsono. 2013. “Solusi Kemacetan Jalan
Siliwangi di Kota Semarang”, dalam Diponegoro Journal Economics, Vol. 2 No. 4.
Semarang: Universitas Diponegoro
www.jasamarga.com.
Tarif Tol Pada Jalan Tol Semarang Seksi A, B, C. Diunduh Selasa, 25 November
2014
http://www.jateng.polri.go.id/.
Data Kecelakaan Lalu Lintas di Kota
Semarang Tahun 2010-2012. Diunduh Senin, 24 November 2014.
ASSALAMU'ALAIKUM.WR.WB.
BalasHapusALHAMDULILLAH..!!
saya bersyukur kpd Allah SWT.
atas keberhasilan PENARIKAN UANG
GHAIB.setelah melalui proses panjang &
sangat sangat beresiko,dgn izin Allah
alhamdulillah uang ghaib akhirnya berhsil
kami keluarkan dgn jumlah yg luar biasa.
UANG GHAIB INI PENAWARAN TERBARU DARI KAMI.
setelah uang balik (UB) sudah terbukti keberhasilanya,
dan sehubungan banyaknya orang yang menginginkan hal ini
( UANG GHAIB ), kami sanggup memproses penarikan UANG GHAIB,
dengan catatan:
1.masalah utang piutang (JUMLAH BESAR)
2.tidak untuk memperkaya diri
3.sanggup menyiapkan satu ekor sapi jantan,(sebagai pengganti tumbal).
-PELET PUTIH/PENGASIHAN JARAK JAUH
-MENAKLUKKAN LAWAN JENIS
-PENGLARISAN/JIMAT GOIB BISNIS DLL
APAKAH ANDA TERMASUK KATEGORI DI BAWAH INI.???
4.BUTUH MODAL DALAM BUKA USAHA
5.SELALU KALAH DALAM BERMAIN TOGEL
6.DILILIT HUTANG
7.BARANG BERHARGA ANDA SUDAH HABIS
8.DILILIT HUTANG
--------------------------------------------------
bagi anda yang BENAR-BENAR SERIUS dalam hal ini.....
silahkan menghubungi AKY SUNDOKO di NO TPL 0823-9350-0556.
UNTUK INFO LEBIH JELAS KLIK DISINI
TERIMAKASIH
WASSALAMUALAIKUM.WR.WB...???