BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Millenium
Development Goals (MDGs) merupakan pernyataan dan komitmen perserikatan bangsa-bangsa
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Deklarasi tersebut
tertuang ke dalam 8 butir tujuan yang dicapai pada tahun 2015, meliputi (1)
mengentaskan kemiskinan dan kelaparan absolut, (2) mencapai pendidikan dasar
secara universal, (3) meningkatan dukungan persamaan gender dan pemberdayaan wanita, (4) menurunkan tingkat mortalitas anak,
(5) meningkatkan kesehatan ibu hamil, (6) menurunkan persebaran HIV/AIDS,
malaria dan penyakit-penyakit lainnya, (7) meningkatkan keberlangsungan
lingkungan, (8) mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012).
Tujuan utama MDGs adalah komitmen
mengentaskan kemiskinan dan kelaparan (Todaro, 2006). Kemiskinan dapat muncul
ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan dalam definisi
yang luas kemiskinan bersifat multidimensional, artinya kemiskinan adalah
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan manusia yang beranekaragam yang
selanjutnya dapat dipandang melalui berbagai aspek. Ditinjau dari aspek primer
kemiskinan meliputi, miskin terhadap asset, rendahnya partisipasi organisasi
sosial politik, serta terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan. Sedangkan aspek
sekunder mencakup, miskin terhadap jaringan sosial, rendahnya sumber-sumber
keuangan dan terbatasnya informasi. Selanjutnya, dimensi-dimensi kemiskinan
tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, rendahnya penyediaan
air bersih, terbatasnya perumahan layak huni, belum meratanya pelayanan kesehatan,
tingkat pendidikan rendah, serta dari keseluruhannya saling berkaitan secara
langsung maupun tidak langsung (Andre Bayo Ala dalam Arsyad, 1997)
Mengingat MDGs merupakan amanat yang patut diwujudkan, maka
diperlukan koordinasi dan kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan baik
Pemerintah Pusat, Daerah maupun seluruh komponen masyarakat dalam rangka
menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2015 menyentuh angka 7,55
persen sesuai dengan salah satu indikator keberhasilan pencapaian MDGs dalam
pengentasan kemiskinan.
Persebaran
penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan proporsi
sebesar 55 persen. Hal ini mengingat Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki
kepadatan penduduk tertinggi dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Ditinjau secara administrasif, Pulau Jawa terbagi menjadi 6 provinsi yaitu DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Banten.
Selanjutnya apabila melihat 5 tahun terakhir, rata-rata tingkat kemiskinan
tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 16,92 persen. Berikut adalah
gambar persebaran penduduk miskin menurut Pulau Indonesia :
Sumber:
BPS Statistik Nasional tahun 2012, diolah
Provinsi
|
Tingkat
Kemiskinan
|
|||||
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Rata-rata
|
|
DKI Jakarta
|
4,29
|
3,62
|
3,48
|
3,75
|
3,69
|
3,76
|
Jawa Barat
|
13,01
|
11,96
|
11,27
|
10,65
|
10,09
|
11,39
|
Jawa
Tengah
|
19,23
|
17,72
|
16,56
|
15,76
|
15,34
|
16,92
|
DI Yogyakarta
|
18,32
|
17,23
|
16,83
|
16,08
|
16,05
|
16,90
|
Jawa Timur
|
18,51
|
16,68
|
15,26
|
14,23
|
13,40
|
15,62
|
Banten
|
8,15
|
7,64
|
7,16
|
6,32
|
5,85
|
7,02
|
Sumber : RPJMD Jawa Tengah 2013.
Berdasarkan tabel 1.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2008
hingga 2012 tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan secara
berangsur-angsur yaitu sebesar 19,23 persen di tahun 2008 menjadi 15,34 persen
di tahun 2012. Meski demikian tingkat kemiskinan di Jawa Tengah masih tergolong
hard core (>10 persen), yang
mengindikasikan belum optimalnya upaya pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan serangkaian kebijakan guna mengentaskan kemiskinan.
Isu strategis tentang kemiskinan di Jawa Tengah adalah terjadinya
penurunan kemiskinan di Jawa tengah, akan tetapi penurunan kemiskinan tersebut
sangat lambat. Anggaran untuk menanggulangi kemiskinan setiap tahunnya
ditambah. Namun banyak kebijakan dan program-program pengentasan kemiskinan
yang tidak tepat sasaran.
Pertumbuhan ekonomi seringkali digadang-gadang merupakan faktor
yang dibutuhkan guna mereduksi tingkat kemiskinan di suatu daerah. Pembangunan
ekonomi diarahkan pada pembangunan inklusif, yang menitikberatkan pada
pertumbuhan tanpa disparitas inter-regional dan ketidaksetaraan sosial. Konsep
pertumbuhan dalam pembangunan inklusif mengacu pada suatu pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan, dan juga strategi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan
sosial dengan menyediakan kesempatan bagi orang/kelompok yang terpinggirkan dan
rentan untuk berkontribusi pada proses pembangunan. Dengan demikian peluang
ekonomi yang dihasilkan harus dapat dinikmati atau terdistribusi ke semua
lapisan masyarakat termasuk kaum miskin termarjinalkan. Selama kurun waktu
Tahun 2008 - 2012, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat
meskipun laju pertumbuhannya bergerak secara perlahan, yaitu sebesar 5,61% di
Tahun 2008 menjadi 6,34% di Tahun 2012. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Jawa
Tengah tersebut, ditopang oleh sektor industri pengolahan serta perdagangan,
hotel dan restoran yang merupakan sumber pertumbuhan PDRB Jawa Tengah terbesar
setiap tahunnya. Pertumbuhan PDRB Jawa Tengah selama Tahun 2008-2012 dapat
dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar
1.2.
Perkembangan
Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah
Tahun 2008 – 2012
Sumber
: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2013
Pergerakan laju pertumbuhan ekonomi yang lambat
dipengaruhi oleh faktor internal yang diakibatkan belum optimalnya kinerja
sektor industri pengolahan dan faktor eksternal karena masih tingginya
ketergantungan pada sektor pertanian. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi adalah aglomerasi, artinya terjadi pemusatan berbagai
kegiatan ekonomi ke dalam suatu wilayah tertentu sehingga memunculkan
pertumbuhan ekonomi baru pada wilayah tersebut. Selain berpengaruh pada
pertumbuhan ekonomi, aglomerasi juga mempunyai manfaat lain yaitu efisiensi
kolektif pada proses produksi pada skala menengah dan besar. Sebaran aglomerasi
di Jawa Tengah antara lain di Kota Semarang dan Surakarta, Kabupaten Cilacap,
Kudus, Pekalongan dan Kendal. Perkembangan gejolak ekonomi global dan
terbukanya pasar bebas Asia Pasifik mengakibatkan tingginya persaingan antar
produk. Hal ini berdampak pada menurunnya permintaan pasar global, nilai ekspor
dan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah.
Ada suatu hubungan trade-off
yang kuat antara pertumbuhan ekonomi
dan tingkat kemiskinan Sumarto (dalam Kuncoro, 2006). Gambar 1.3 menunjukkan
bahwa kecenderungan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah yang terjadi
selama periode tahun 2008 hingga 2012, turut diikuti dengan semakin kecilnya
angka kemiskinan selama kurun waktu 2008 sampai 2012.
Sumber : BPS Jawa
Tengah berbagai tahun, diolah
Masalah kemiskinan adalah
masalah yang kompleks. Kemiskinan juga merupakan sebuah hubungan sebab akibat
(kausalitas melingkar) artinya tingkat kemiskinan yang tinggi terjadi karena
rendahnya pendapatan perkapita, pendapatan perkapita yang rendah terjadi karena
investasi perkapita yang juga rendah. Tingkat investasi perkapita yang rendah
disebabkan oleh permintaan domestik perkapita yang rendah juga dan hal tersebut
terjadi karena tingkat kemiskinan yang tinggi dan demikian seterusnya, sehingga
membentuk sebuah lingkaran kemiskinan sebagai sebuah hubungan sebab dan akibat
(teori Nurkse) dan telah dibuktikan untuk contoh kasus lingkar kemiskinan di
Indonesia (Jaka Sumanta, 2005).
Perhatian pemerintah dalam
upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah telah banyak dilakukan. Dapat
dibuktikan melalui anggaran untuk pengentasan kemiskinan setiap tahun semakin
meningkat, namun tidak diikuti dengan penurunan kemiskinan yang sangat drastis.
Hal tersebut dikarenakan banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang
tidak menyentuh masyarakat miskin. Pemerintah cenderung memberikan bantuan
instan kepada masyarakat miskin. Hal tersebut tidak akan memberdayakan dengan
kemandirian masyarakat miskin dalam jangka panjang namun akan mengakibatkan
ketergatungan sementara bantuan dari kebijakan tersebut bersifat sementara.
Pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ( PNPM )
Mandiri mulai tahun 2007 untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan
kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja,. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan
kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur
masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan
evaluasi. Melalui proses pembangunan
partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama
masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek
melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan.
Dalam kegiatan ekonomi, PNPM Mandiri diwujudkan dengan kegiatan pinjaman bergulir, yaitu
pemberian pinjaman dalam skala mikro kepada masyarakat miskin di wilayah
kelurahan atau desa yang tergabung dalam KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat).
Program pinjaman bergulir ini serupa dengan program Grameen Bank yang merupakan
program andalan Yunus yakni tidak menerapkan agunan. Masalah kesejahteraan
sosial penduduk di Kota Semarang merupakan masalah yang perlu mendapatkan
perhatian dari pemerintah dan masyarakat (Bappeda Kota Semarang, 2008).
1.2.Rumusan
Masalah
Penurunan kemiskinan Jawa Tengah yang lambat dapat dimaknai sebagai sebuah
produk kegagalan kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tidak disesuaikan
dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Berbagai kebijakan yang
dikeluarkan lembaga pemerintah ternyata tidak mampu menurunkan angka kemiskinan
secara signifikan. Permasalahan utamanya terletak pada struktur kelembagaan
pemerintah yang ternyata tidak mampu menyentuh realitas kemiskinan yang
sebenarnya. Keterputusan tersebut berawal dari kesalahan pemerintah ketika
meletakkan kemiskinan atau orang miskin sebagai sebuah obyek dari kebijakan
sehingga banyak kebijakan yang justru tidak bisa dilaksanakan secara maksimal.
Pemerintah cenderung memberi bantuan secara instan kepada masyarakat miskin,
oleh karena itu kebijakan tersebut justru tidak bisa menyelesaikan permasalahan
yang ada. Maka penulisan makalah ini
akan menganalisis peran PNPM Mandiri Perdesaan
dalam meningkatkan
efektivitas penanggulangan kemiskinan Jawa Tengah dalam prespektif kelembagaan.
1.3.Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk menganalisis peran PNPM Mandiri Perdesaan
dalam meningkatkan
efektivitas penanggulangan kemiskinan Jawa Tengah dalam prespektif kelembagaan.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
2.1.1. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan standar minimum (Kuncoro, 2006). Hal senada turut diutarakan
Todaro (2006) yang mengemukakan bahwa cakupan kemiskinan absolut adalah
sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Selanjutnya guna mempermudah gambaran mengenai
hak-hak dasar dalam menpertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat, maka Bappenas (dalam Setiawan,2011) memaparkan hak-hak dasar yang
harus dipenuhi, antara lain :
1.
Terpenuhinya kebutuhan
pangan,
2.
Kebutuhan kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup,
3.
Rasa aman dari perlakuan
atau ancaman tindak kekerasan,
4.
Hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial politik.
2.1.2. Penyebab Kemiskinan
1. Menurut World Bank 2003
(dalam Sholeh 2009), penyebab dasar kemiskinan adalah :
a.
Kegagalan kepemilikan
terutama tanah dan modal.
b.
Terbatasnya ketersediaan
kebutuhan dasar, sarana dan prasarana.
c.
Kebijakan pembangunan yang
bias perkotaan dan bias sektor.
d.
Adanya perbedaan kesempatan
di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung.
e.
Adanya perbedaan sumber daya
manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi
modern).
f.
Rendahnya produktivitas dan
tingkat pembentukan modal masyarakat.
g.
Budaya hidup yang dikaitkan
dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya.
h.
Tidak adanya tata
pemerintahan yang bersih dan baik (good
governance).
i.
Eksploitasi alam yang
berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
2. Kemudian Sharp, et al
(dalam Kuncoro, 2006) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari
sisi ekonomi :
a.
secara mikro, kemiskinan
muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan
distribusi pendapatan yang timpang.
b.
kemiskinan muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia.
c.
kemiskinan muncul akibat
perbedaan akses dalam modal.
Faktor
penyebab kemiskinan yang dikemukan oleh Sharp, et al bermuara pada teori lingkaran
kemiskinan (Vicious Circle of Poverty).
Nurkse mengatakan bahwa ‘’a poor country
is poor because it is poor’’. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sumber: Kuncoro (2006)
Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya
modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan
akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi
berakibat pada keterbelakangan. Oleh karena itu, setiap usaha memerangi
kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap
kemiskinan ini (Kuncoro, 2006)
2.1.3. Ukuran Pendapatan Kemiskinan
Menurut Arsyad (1997) kemiskinan
dapat dilihat dari 2 ukuran pendapatan :
1. Kemiskinan Absolut adalah seseorang yang memiliki pendapatan,
namun belum mampu untuk memuhi kebutuhan minimum agar hidup secara layak.
Kemiskinan diukur dengan memperbandingkan tingkat pendapatan seseorang dengan
tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat
pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin
atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan.
2. Kemiskinan Relatif adalah seseorang yang mempunyai tingkat
pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih
rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu,
garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat
berubah. Sehingga kemiskinan relatif bersifat dinamis dan kemiskinan akan
selalu ada.
2.1.4 Indikator Kemiskinan
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) tingkat kemiskinan dihitung menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan
yang terdiri dari 2 komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Bukan Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori
per kapita perhari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Sedangkan Garis
Kemiskinan Bukan Makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan
47 jenis komoditi di pedesaan. Oleh karena itu penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita bulan di bawah Garis Kemiskinan di masukkan ke dalam
kelompok penduduk miskin.
2.2. Penanggulangan Kemiskinan
Penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah
mengandung pelajaran tentang peluang penanggulangan kemiskinan, baik dari
bentuk lama yang disusun di pemerintah pusat, maupun pola baru hasil susunan
pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di
daerah (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2004). Otonomi
daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi
jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu
sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di
tangan pemerintah kabupaten dan kota, serta pemerintah desa.
Berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
dikeluarkan dan diimplementasian bertujuan untuk mengurangi jumlah masyarakat
miskin. Penanggulangan kemiskinan pada akhirnya juga menjadi aspek pembangunan
yang tidak dapat dipisahkan karena pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak
secara otomatis mengurangi angka kemiskinan tetapi malah yang terjadi adalah
tingkat kesenjangan yang semakin tinggi.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan menurut
Sumodiningrat (1996) digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu (1) kebijaksanaan yang
secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya
suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin, (2) kebijaksaan
yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok
sasaran, dan (3) kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin dan
daerah terpencil melalui upaya khusus.
2.3.
Kelembagaan
dan Peran Kelembagaan
Menurut Nasution (2002), kelembagaan mempunyai pengertian
sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat
aturan, prosedur, norma perilaku individual dan sangat penting artinya bagi
pengembangan pertanian. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian
yaitu : kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam
interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki
hierarki (Hayami dan Kikuchi, 1987).
Kelembagaan sebagai
aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal,
tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya
yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya.
Kelembagaan sebagai organisasi biasanya merujuk pada lembaga-lembaga formal
seperti departemen dalam pemerintah, koperasi, bank dan sebagainya. Suatu
kelembagaan (instiution) baik sebagai suatu aturan main maupun sebagai
suatu organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama (Pakpahan, 1990
dalam Nasution, 2002) yaitu :
1.
Batas
kewenangan ( jurisdictional boundary) Batas kewenangan merupakan batas
wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak
tertentu terhadap sumberdaya, faktor produksi, barang dan jasa. Dalam suatu
organisasi, batas kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam
organisasi tersebut.
2.
Hak
Kepemilikan (Property right) Konsep property right selalu
mengandung makna sosial yang berimpiklasi ekonomi. Konsep property right atau
hak kepemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation)
dari semua masyarakat perserta yang diatur oleh suatu peraturan yang menjadi
pegangan, adat dan tradisi atau consensus yang mengatur hubungan antar
anggota masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat
mengatakan hak milik atau penguasaan apabila tidak ada pengesahan dari
masyarakat sekarang. Pengertian diatas mengandung dua implikasi yakni, hak
seseorang adalah kewajiban orang lain dan hak yang tercermin oleh kepemilikan (ownership)
adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya.
3.
Aturan
representasi (Rule of representation) Aturan representasi mengatur siapa
yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa
yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh
kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses
ini bentuk partisipasi ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam
membagi beban dan manfaat terhadap anggota dalam organisasi tersebut. Terkait
dengan komunitas perdesaan, maka terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok,
kelembagaan dan organisasi) yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal
dapat dilakukan dengan sistem jejaring kerjasama yang setara dan saling
menguntungkan.
2.4.
Pemberdayaan
dalam Pembangunan Ekonomi
Hakekat
pemberdayaan pada dasarnya adalah penciptaan susana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat bisa berkembang. Logika ini didasarkan pada
asumsi bahwa setiap masyarakat pasti memiliki daya akan tetapi kadang-kadang
mereka tidak menyadari atau potensi yang ada belum tergali untuk dikembangkan.
Pemberdayaan jangan menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan,
sehingga pemberdayaan sebaiknya mengantarkan pada proses kemandirian.
2.4.1. Pengembangan
Pemberdayaan dengan Kelembagaan
Kelembagaan yaitu bagaimana kelembagaan yang dibentuk
di daerah bisa mewadahi berbagai unsur kepentingan kemitraan antara pemerintah,
swasta dan masyarakat. Pihak mana yang akan menangani bentuk dan model
kemitraan yang akan dibuat.
2.5.
Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
2.5.1. Pengertian PNPM Mandiri
PNPM Mandiri merupakan salah satu
upaya pemerintah untuk mendorong penurunan angka kemiskinan dan pengangguran.
PNPM Mandiri difokuskan pada penanganan kemiskinan yang berbasis partisipasi dan
pembedayaan masyarakat. PNPM mandiri merpakan integrasi dan perluasan program
penanggulangan kemiskinan yang berbasis masyarakat yang sudah jalan (Depdagri,
2008)2
2.5.2. Jenis-jenis
PNPM Mandiri
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia ada tiga
jenis (Depdagri, 2008). Antara lain :
a.
PNPM Mandiri Perdesaan
b.
PNPM Mandiri Perkotaan
c.
PNPM Mandiri Khusus Desa Tertinggal
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Kemiskinan Jawa Tengah
Kemiskinan
merupakan masalah pembangunan yang bersifat multidimensi, sehingga upaya
menanggulangi kemiskinan perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Mengingat tingkat kemiskinan di Jawa Tengah masih tinggi dan proses penurunanya
cenderung lambat, maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah daerah adalah
dengan meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terutama pangan,
pendidikan, kesehatan, air minum, sanitasi dan perumahan. Selain itu
diberlakukannya pula pemberdayaan ekonomi masyarakat, memperkuat kelembagaan
dan pendayagunaan sumber daya potensial untuk penanggulangan kemiskinan (RPJMD,
2013). Langkah pemerintah Jawa Tengah dalam mengentaskan kemiskinan telah
tercirmin dari semakin meningkatnya alokasi anggaran guna mengentaskan
permasalahan kemiskinan.
Anggaran
pemerintah yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan selama kurun waktu
2008 sampai 2012 mengalami peningkatan yaitu 931.728.000 rupiah di tahun 2008
menjadi 1.466.256.000 rupiah di tahun 2012. Berikut adalah alokasi anggaran
pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2008-2012.
Tahun
|
Anggaran Pemerintah (Rupiah)
|
2008
|
931.728.000.000
|
2009
|
1.059.688.000.000
|
2010
|
1.201.907.000.000
|
2011
|
1.227.250.132.000
|
2012
|
1.466.256.000.000
|
Sumber
: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan berbagai tahun, diolah
Tingkat
kemiskinan Di 35 Kabupaten/Kota Jawa Tengah
No.
|
Kabupaten/Kota
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Rata-rata
|
1.
|
Kab. Cilacap
|
21,40
|
19,88
|
18,11
|
17,15
|
15,92
|
18,49
|
2.
|
Kab. Banyumas
|
22,93
|
21,52
|
20,20
|
21,11
|
19,44
|
21,04
|
3.
|
Kab. Purbalingga
|
27,12
|
24,97
|
24,58
|
23,06
|
21,19
|
24,18
|
4.
|
Kab. Banjarnegara
|
23,34
|
21,36
|
19,17
|
20,38
|
18,87
|
20,62
|
5.
|
Kab. Kebumen
|
27,87
|
25,73
|
22,70
|
24,06
|
22,40
|
24,55
|
6.
|
Kab. Purworejo
|
18,22
|
17,02
|
16,61
|
17,51
|
16,32
|
17,14
|
7.
|
Kab. Wonosobo
|
27,72
|
25,91
|
23,15
|
24,21
|
22,50
|
24,70
|
8.
|
Kab. Magelang
|
16,49
|
15,19
|
14,14
|
15,18
|
13,97
|
14,99
|
9.
|
Kab. Boyolali
|
17,08
|
15,96
|
13,72
|
14,97
|
13,88
|
15,12
|
10.
|
Kab. Klaten
|
21,72
|
19,68
|
17,47
|
17,95
|
16,71
|
18,71
|
11.
|
Kab. Sukoharjo
|
12,13
|
11,51
|
10,94
|
11,13
|
10,16
|
11,17
|
12.
|
Kab. Wonogiri
|
20,71
|
19,08
|
15,67
|
15,74
|
14,67
|
17,17
|
13.
|
Kab. Karanganyar
|
15,68
|
14,73
|
13,98
|
15,29
|
14,07
|
14,75
|
14.
|
Kab. Sragen
|
20,83
|
19,70
|
17,49
|
17,95
|
16,72
|
18,54
|
15.
|
Kab. Grobogan
|
19,84
|
18,68
|
17,86
|
17,38
|
16,14
|
17,98
|
16.
|
Kab. Blora
|
18,79
|
17,70
|
16,27
|
16,24
|
15,11
|
16,82
|
17.
|
Kab. Rembang
|
27,21
|
25,86
|
23,40
|
23,71
|
21,88
|
24,41
|
18.
|
Kab. Pati
|
17,90
|
15,92
|
14,48
|
14,69
|
13,61
|
15,32
|
19.
|
Kab. Kudus
|
12,58
|
10,80
|
9,01
|
9,45
|
8,63
|
10,09
|
20.
|
Kab. Jepara
|
11,05
|
9,60
|
10,18
|
10,32
|
9.38
|
10,11
|
21.
|
Kab. Demak
|
21,24
|
19,70
|
18,76
|
18,21
|
16,73
|
18,93
|
22.
|
Kab. Semarang
|
11,37
|
10,66
|
10,50
|
10,30
|
9,40
|
10,45
|
23.
|
Kab. Temanggung
|
16,39
|
15,05
|
13,46
|
13,38
|
12,32
|
14,12
|
24.
|
Kab. Kendal
|
17,87
|
16,02
|
14,47
|
14,26
|
13,17
|
15,16
|
25.
|
Kab. Batang
|
18,08
|
16,61
|
14,67
|
13,47
|
12,40
|
15,05
|
26.
|
Kab. Pekalongan
|
19,52
|
17,93
|
16,29
|
15,00
|
13,86
|
16,52
|
27.
|
Kab. Pemalang
|
23,92
|
22,17
|
19,96
|
20,68
|
19,28
|
21,20
|
28.
|
Kab. Tegal
|
15,78
|
13,98
|
13,11
|
11,54
|
10,75
|
13,03
|
29.
|
Kab. Brebes
|
25,98
|
24,39
|
23,01
|
22,72
|
21,12
|
23,44
|
30.
|
Kota Magelang
|
11,16
|
10,11
|
10,51
|
11,06
|
10,31
|
10,63
|
31.
|
Kota Surakarta
|
16,13
|
14,99
|
13,96
|
12,90
|
12,01
|
14,00
|
32.
|
Kota Salatiga
|
8,7
|
7,82
|
8,28
|
7,80
|
7,11
|
7,90
|
33.
|
Kota Semarang
|
6,00
|
4,84
|
5,12
|
5,68
|
5,13
|
5,35
|
34.
|
Kota Pekalongan
|
10,29
|
8,56
|
9,36
|
10,04
|
9,47
|
9,54
|
35.
|
Kota Tegal
|
11,28
|
9,88
|
10,62
|
10,81
|
10,04
|
10,53
|
Sumber
: RPJMD Jawa Tengah 2013.
Berdasarkan Tabel 3.2.
sebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2012
menunjukkan bahwa masih terdapat 15 kabupaten dengan angka kemiskinan di atas
rata-rata provinsi dan nasional, sehingga masih perlu upaya percepatan
penurunan Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah. Persentase penduduk miskin
terbesar pada Tahun 2012 terdapat di Kabupaten Wonosobo sebesar 22,50%, Kebumen
sebesar 22,40%, dan Rembang sebesar 21,88%. Dilihat dari jumlah penduduk
miskin, kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Brebes
sejumlah 364.900 orang, Banyumas sejumlah 304.000 orang, dan Cilacap sejumlah
260.900 orang.
Tabel 3.3.
Jumlah Penduduk Miskin,Persentase
Penduduk Miskin Jawa
Tengah
Tahun 2008 – 2012
Provinsi Jawa Tengah
|
Jumlah Penduduk Miskin
(000) Kota
|
Jumlah Penduduk Miskin
(000) Desa
|
Jumlah
Penduduk Miskin (000) Kota + Desa
|
% Penduduk Miskin Kota
|
% Penduduk Miskin Desa
|
%Penduduk Miskin Kota +
Desa
|
2008
|
2556,50
|
3633,10
|
6189,60
|
16,34
|
21,96
|
19,23
|
2009
|
2420,90
|
3304,80
|
5725,70
|
15,41
|
19,89
|
17,72
|
2010
|
2258,90
|
3110,20
|
5369,20
|
14,33
|
18,66
|
16,56
|
2011
|
2092,51
|
3014,85
|
5107,36
|
14,12
|
17,14
|
15,76
|
2012
|
1946,50
|
2916,90
|
4863,40
|
13,11
|
16,55
|
14,98
|
Sumber: BPS, Stastistik Indonesia
Berdasarkan tabel 3.3.
jumlah penduduk miskin mengalami penurunan selama Tahun 2008 –2012. Jumlah
penduduk miskin Tahun 2012 sebanyak 4,86 juta jiwa (14,98%) lebih rendah
dibandingkan Tahun 2011 sebanyak 5,25 juta jiwa (16,21%), namun masih di atas
rata – rata angka nasional sebesar 11,66%, dengan proporsi penduduk miskin di
perdesaan (59,98%) lebih tinggi dibanding perkotaan (40,02%). Jumlah penduduk
miskin di Jawa Tengah selama Tahun 2008 – 2012 cenderung mengalami penurunan
walaupun laju penurunannya melambat. Jumlah penduduk miskin Tahun 2012 sebanyak
4,86 juta jiwa (14,98%) lebih rendah dibandingkan Tahun 2011 sebanyak 5,25 juta
jiwa (16,21%), namun masih di atas rata – rata angka nasional sebesar 11,66%.
Distribusi penduduk miskin di Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukan bahwa penduduk
miskin di Jawa Tengah sebagian besar berada di perdesaan (59,98%) dibanding
perkotaan (40,02%). Sementara sebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di
Jawa Tengah 2011 menunjukkan bahwa masih terdapat 15 kabupaten dengan angka
kemiskinan di atas rata-rata provinsi dan nasional, sehingga masih perlu upaya
lebih keras untuk menurunkan jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah.
Selanjutnya berdasarkan data PPLS Tahun 2011,
terdapat rumah tangga (ruta) yang dikategorikan sangat miskin dan miskin
sebanyak 1.195.368 ruta, hampir miskin 1.155.102 ruta dan rentan miskin lainnya
1.893.736 ruta. Melalui pemetaan interval persentase rumah tangga miskin
(sangat miskin dan miskin) dibandingkan total rumah tangga yang dilakukan
Sekretariat TKPK Provinsi Jawa Tengah, sebanyak 50 kecamatan (15 kabupaten)
termasuk katagori kecamatan dengan persentase penduduk miskin tinggi, 234
kecamatan (26 kabupaten) kategori sedang dan 289 kecamatan (30 kabupaten/kota)
kategori rendah.
Jumlah penduduk
miskin di jawa tengah selama tahun 2008 – 2012 cenderung mengalami penurunan
walaupun laju penurunannya melambat. Jumlah penduduk miskin tahun 2012 sebanyak
4,86 juta jiwa (14,98%) lebih rendah dibandingkan tahun 2011 sebanyak 5,25 juta
jiwa (16,21%), namun masih di atas rata-rata angka nasional sebesar 11,66%. Perlu
percepatan dalam penurunan kemiskinan baik melalui pemerintah atau para
lembaga-lembaga terkait pengentasan kemiskinan.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran
rata-rata kesenjangan pengeluaran masing–masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Berdasarkan data Tahun 2012, Indeks Kedalaman Kemiskinan Provinsi
Jawa Tengah sebesar 2,39 atau berada di atas rata-rata angka nasional sebesar
1,90. Dalam kurun waktu 2008 - 2012 perkembangan Indeks Kedalam Kemiskinan
cenderung menurun dari sebesar 4,25 menjadi 2,39. Kondisi ini menunjukkan bahwa
upaya pengurangan kesenjangan pengeluaran penduduk miskin di Provinsi Jawa
Tengah dalam empat tahun terakhir cukup efektif. Selanjutnya Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) Kabupaten/Kota pada Tahun 2012, tertinggi adalah Kabupaten
Wonosobo (3,91) dan terendah Kota Salatiga (0,77). Secara rinci perkembangan
Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2008-1012 dapat
dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel
3.4.
Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1) Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1)
|
||||
2008
(Juli)
|
2009
(Juli)
|
2010
(Juli)
|
2011
(Sept)
|
2012
(Sept)
|
||
1.
|
Kab. Cilacap
|
4,67
|
2,76
|
3,05
|
2,59
|
2,22
|
2.
|
Kab. Banyumas
|
3,95
|
3,21
|
3,56
|
3,69
|
3,42
|
3.
|
Kab. Purbalingga
|
5,40
|
4,60
|
4,00
|
3,11
|
3,72
|
4.
|
Kab. Banjarnegara
|
5,75
|
3,42
|
3,34
|
3,15
|
3,39
|
5.
|
Kab. Kebumen
|
7,05
|
4,87
|
3,68
|
3,94
|
3,35
|
6.
|
Kab. Purworejo
|
4,17
|
2,57
|
2,67
|
2,82
|
2,78
|
7.
|
Kab. Wonosobo
|
8,07
|
5,14
|
3,97
|
4,52
|
3,91
|
8.
|
Kab. Magelang
|
5,01
|
1,99
|
2,05
|
2,05
|
2,09
|
9.
|
Kab. Boyolali
|
3,64
|
2,36
|
2,34
|
2,15
|
2,14
|
10.
|
Kab. Klaten
|
7,09
|
3,12
|
2,95
|
3,43
|
2,14
|
11.
|
Kab. Sukoharjo
|
2,63
|
1,45
|
1,54
|
1,68
|
1,78
|
12.
|
Kab. Wonogiri
|
6,03
|
2,87
|
3,02
|
3,09
|
1,76
|
13.
|
Kab. Karanganyar
|
3,02
|
1,84
|
1,98
|
1,98
|
2,24
|
14.
|
Kab. Sragen
|
3,50
|
3,16
|
2,85
|
2,89
|
2,38
|
15.
|
Kab. Grobogan
|
4,49
|
2,50
|
2,48
|
2,62
|
2,55
|
16.
|
Kab. Blora
|
5,12
|
2,38
|
2,38
|
2,35
|
2,19
|
17.
|
Kab. Rembang
|
5,48
|
3,66
|
3,50
|
2,86
|
2,76
|
18.
|
Kab. Pati
|
6,01
|
2,22
|
2,43
|
2,07
|
1,72
|
19.
|
Kab. Kudus
|
2,76
|
1,56
|
0,92
|
1,16
|
0,92
|
20.
|
Kab. Jepara
|
1,99
|
1,14
|
1,12
|
1,30
|
0,94
|
21.
|
Kab. Demak
|
3,86
|
3,68
|
3,75
|
3,12
|
2,75
|
22.
|
Kab. Semarang
|
2,33
|
1,43
|
1,45
|
1,60
|
1,57
|
23.
|
Kab. Temanggung
|
4,66
|
2,58
|
1,73
|
1,93
|
1,85
|
24.
|
Kab. Kendal
|
4,02
|
2,88
|
3,48
|
2,21
|
1,59
|
25.
|
Kab. Batang
|
5,41
|
2,66
|
2,29
|
2,07
|
1,89
|
26.
|
Kab. Pekalongan
|
4,23
|
2,40
|
2,40
|
2,08
|
1,49
|
27.
|
Kab. Pemalang
|
3,59
|
3,98
|
3,19
|
3,09
|
2,51
|
28.
|
Kab. Tegal
|
2,70
|
2,44
|
1,78
|
1,89
|
1,14
|
29.
|
Kab. Brebes
|
5,06
|
4,36
|
4,27
|
4,25
|
3,07
|
30.
|
Kota Magelang
|
1,68
|
1,88
|
1,61
|
1,61
|
1,48
|
31.
|
Kota Surakarta
|
2,71
|
2,67
|
2,19
|
1,89
|
1,33
|
32.
|
Kota Salatiga
|
1,28
|
0,83
|
0,94
|
1,30
|
0,77
|
33.
|
Kota Semarang
|
0,99
|
1,02
|
0,89
|
0,71
|
0,80
|
34.
|
Kota Pekalongan
|
1,03
|
1,17
|
1,12
|
1,37
|
1,09
|
35.
|
Kota Tegal
|
1,42
|
1,64
|
1,72
|
1,89
|
0,95
|
Jawa Tengah
|
4,25
|
2,89
|
2,49
|
2,56
|
2,39
|
Sumber
: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2012.
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) merupakan gambaran
mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Ukuran ini
memberikan informasi saling melengkapi pada kasus kemiskinan. Capaian Indeks
Keparahan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2012 sebesar 0,57 atau
lebih tinggi dari rata-rata angka nasional sebesar 0,49, tertinggi adalah
Kabupaten Wonosobo (1,04) dan terendah Kota Salatiga (0,13), selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel
3.5.
Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2)
|
||||
2008
(Juli)
|
2009
(Juli)
|
2010
(Juli)
|
2011
(Sept)
|
2012
(Sept)
|
||
1.
|
Kab. Cilacap
|
1,35
|
0,60
|
0,81
|
0,60
|
0,50
|
2.
|
Kab. Banyumas
|
0,93
|
0,75
|
0,99
|
0,99
|
0,91
|
3.
|
Kab. Purbalingga
|
1,49
|
1,27
|
1,08
|
0,67
|
0,96
|
4.
|
Kab. Banjarnegara
|
1,72
|
0,85
|
0,92
|
0,74
|
0,94
|
5.
|
Kab. Kebumen
|
2,05
|
1,34
|
0,92
|
0,96
|
0,75
|
6.
|
Kab. Purworejo
|
1,21
|
0,59
|
0,65
|
0,74
|
0,65
|
7.
|
Kab. Wonosobo
|
2,86
|
1,54
|
1,09
|
1,25
|
1,04
|
8.
|
Kab. Magelang
|
1,69
|
0,41
|
0,46
|
0,44
|
0,48
|
9.
|
Kab. Boyolali
|
1,01
|
0,59
|
0,71
|
0,49
|
0,51
|
10.
|
Kab. Klaten
|
2,50
|
0,73
|
0,75
|
0,99
|
0,47
|
11.
|
Kab. Sukoharjo
|
0,74
|
0,30
|
0,35
|
0,35
|
0,49
|
12.
|
Kab. Wonogiri
|
2,06
|
0,65
|
0,92
|
0,89
|
0,33
|
13.
|
Kab. Karanganyar
|
0,78
|
0,36
|
0,50
|
0,41
|
0,50
|
14.
|
Kab. Sragen
|
0,85
|
0,76
|
0,66
|
0,73
|
0,55
|
15.
|
Kab. Grobogan
|
1,23
|
0,55
|
0,52
|
0,63
|
0,61
|
16.
|
Kab. Blora
|
1,61
|
0,51
|
0,61
|
0,51
|
0,47
|
17.
|
Kab. Rembang
|
1,43
|
0,78
|
0,83
|
0,58
|
0,60
|
18.
|
Kab. Pati
|
2,08
|
0,54
|
0,68
|
0,47
|
0,35
|
19.
|
Kab. Kudus
|
0,71
|
0,34
|
0,16
|
0,20
|
0,19
|
20.
|
Kab. Jepara
|
0,46
|
0,25
|
0,22
|
0,25
|
0,18
|
21.
|
Kab. Demak
|
0,88
|
1,05
|
1,14
|
0,75
|
0,68
|
22.
|
Kab. Semarang
|
0,65
|
0,34
|
0,32
|
0,44
|
0,38
|
23.
|
Kab. Temanggung
|
1,50
|
0,76
|
0,34
|
0,45
|
0,41
|
24.
|
Kab. Kendal
|
1,23
|
0,77
|
1,30
|
0,59
|
0,30
|
25.
|
Kab. Batang
|
1,93
|
0,67
|
0,55
|
0,50
|
0,43
|
26.
|
Kab. Pekalongan
|
1,02
|
0,52
|
0,53
|
0,42
|
0,24
|
27.
|
Kab. Pemalang
|
0,85
|
1,08
|
0,80
|
0,71
|
0,50
|
28.
|
Kab. Tegal
|
0,68
|
0,67
|
0,35
|
0,46
|
0,23
|
29.
|
Kab. Brebes
|
1,36
|
1,18
|
1,17
|
1,23
|
0,77
|
30.
|
Kota Magelang
|
0,44
|
0,51
|
0,39
|
0,36
|
0,33
|
31.
|
Kota Surakarta
|
0,75
|
0,78
|
0,53
|
0,46
|
0,28
|
32.
|
Kota Salatiga
|
0,34
|
0,17
|
0,16
|
0,33
|
0,13
|
33.
|
Kota Semarang
|
0,29
|
0,39
|
0,25
|
0,18
|
0,19
|
34.
|
Kota Pekalongan
|
0,18
|
0,26
|
0,19
|
0,32
|
0,19
|
35.
|
Kota Tegal
|
0,21
|
0,42
|
0,44
|
0,51
|
0,15
|
Jawa Tengah
|
1,24
|
0,87
|
0,60
|
0,66
|
0,57
|
Sumber : RPJMD Jawa
Tengah, 2013.
3.2. Penduduk Miskin Berdasarkan Pendataan
Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011
Berdasarkan data PPLS Tahun 2011, dari total rumah
tangga (ruta) sebanyak 8.752.059 ruta, masuk dalam klasifikasi miskin sebanyak
4.244.206 ruta, dengan rincian sangat miskin 521.186 ruta, miskin 674.182 ruta,
hampir miskin 1.155.102 ruta dan rentan miskin lainnya 1.893.736 ruta. Melalui
pemetaan interval persentase rumah tangga miskin (sangat miskin dan miskin)
dibandingkan total rumah tangga yang dilakukan Sekretariat TKPK Provinsi Jawa
Tengah, sebanyak 50 kecamatan (15 kabupaten) masuk kategori kecamatan dengan
persentase penduduk miskin tinggi, 234 kecamatan (27 kabupaten) kategori sedang
dan 289 kecamatan (30 kabupaten/kota) kategori rendah.
3.3.
Meningkatkan
Pemberdayaan Dan Partisipasi Masyarakat
Penanggulangan kemiskinan tidak
dapat dilaksanakan secara instan dan bersifat sementara tetapi harus terus
menerus dan berkelanjutan. Perlu penanganan menyeluruh dan intervensi dari
semua fihak baik pemerintah, masyarakat dan kelompok peduli (swasta, asosiasi,
perguruan tinggi, media, ornop, dll).
Menurut Teguh Kurniawan (2009).
terkait dengan pemberdayaan masyarakat, Yang (2005) mengangkat isu mengenai
diperlukannya rasa saling percaya antara administrator publik dengan warga
masyarakat guna meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Administrasi
Publik. Merujuk kepada pendapat Offe (1999), kepercayaan memiliki 4 (empat)
dimensi, yakni: (1) kepercayaan warga masyarakat kepada sesama warga
masyarakat; (2) kepercayaan masyarakat terhadap elit; (3) kepercayaan elit
politik terhadap sesama elit; serta (4) kepercayaan elit politik terhadap warga
masyarakat (Yang, 2005).
Implementasi meningkatkan
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat pada hakekatnya dapat mewujudkan
masyarakat yang semakin sejahtera, karena sudah tidak dipungkiri lagi melalui
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat seperti melalui PNPM-Mandiri yang
semula pembangunannya topdown dengan pemberdayaan dan partisipasi mayarakat
pembangunan banyak keuntungan yang didapat seperti: pembangunan berdasarkan
kebutuhan/persoalan masyarakat karena yang merancang, melaksanakan dan
mengawasi masyarakat sendiri, adanya swadaya yang lebih besar dari masyarakat,
dapat menumbuhkan modal sosial, dll. Untuk
meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat tersebut perlu dilakukan
beberapa langkah/kegiatan yang dilakukan dengan pendekatan struktural dan
kultural. Di dalam suatu masyarakat, dari yang paling kecil seperti
rumah tangga ada tatanan atau struktur tertentu untuk mengatur keberlanjutan
masyarakat tersebut (Sarsetyono, 2014).
Sedangkan Soekanto (1983) memberikan contoh yang paling sederhana tentang teori
struktural-fungsional yaitu struktur tubuh manusia yang terdiri dari kepala,
leher, badan dan anggota badan. Masing-masing struktur mempunyai tugas
sendiri-sendiri namun tetap diperlukan kerjasama karena struktur yang satu dan
lainnya saling tergantung agar bisa menjalankan tugas secara sempurna.
Sedangkan Kultur atau kebudayaan adalah perilaku berpola yang ada dalam
kelompok tertentu yang anggotanya memiliki makna, simbul dan cara yang sama
untuk mengkomunikasikan makna tersebut (Colletta dan Kayam, 1987). Unsur-unsur
kebudayaan tersebut meliputi pranata atau aturan tersurat maupun tersirat dalam
kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Kebudayaan umumnya terbentuk
dalam waktu yang lama dan terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari dan
tercermin dalam perilaku suatu individu atau masyarakat
3.4. PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah
Salah satu program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia adalah PNPM Mandiri Perdesaan. Pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia
mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang
terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri
wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk
mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan.
Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa
keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi
kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil
menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat.
3.4.1. Visi Misi PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah
Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya
kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan
berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu
mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya,
mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya
tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan
adalah:
a.
Peningkatan kapasitas
masyarakat dan kelembagaannya
b.
Pelembagaan sistem
pembangunan partisipatif
c.
Pengefektifan fungsi dan
peran pemerintahan lokal
d.
Peningkatan kualitas dan
kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat
e.
Pengembangan jaringan
kemitraan dalam pembangunan
Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM
Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu
menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan
sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama
antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri
Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang
dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan
tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah
tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
3.4.2. Strategi Pengentasan Kemiskinan melalui PNPM
Mandiri Perdesaan
Dalam menghadapi tantangan masa depan, maka strategi pengentasan
kemiskinan harus diarahkan untuk :
a.
Peningkatan Kualitas Manusia dan Penghasilan secara
Berkelanjutan
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mewujudkan
manusia berkualitas dan mempunyai penghasilan secara berkelanjutan adalah
peningkatan pendidikan dan ketrampilan yang diarahkan untuk meningkatkan
kapasitas dalam mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan
program pendidikan dan ketrampilan di masa depan ini harus dilandasi dengan
asumsi bahwa kualitas dan keanekaragaman pengetahuan dan ketrampilan makin
dibutuhkan baik disektor pertanian maupun non-pertanian. Ini berarti bahwa
pengembangan sistem pendidikan dan ketrampilan di masa depan harus secara
spesifik memperhatiakn kepentingan golongan miskin. Keberpihakan terhadap
golongan miskin ini diperlukan untuk mengembangkan masyarakat miskin menjadi
potensi penggerak perekonomian dimasa mendatang.
b. Peningkatan
Pelayanan Kesehatan : Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan
Aksesibilitas penduduk miskin terhadap fasilitas kesehatan
masih perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, saat ini lebih dari 70% desa miskin
tidak mempunyai fasilitas kesehatan yang memadai. Kondisi ini sangat
mempengaruhi kesehatan dan kualitas penduduk yang tentunya juga mempengaruhi
produktivitas mereka. Desa miskin umumnya tidak mempunyai prasarana perhubungan
yang memadai, dan penyediaan fasilitas air bersih juga memprihatinkan. Perlu
dilakukan program peningkatan pelayanan sosial yang memadai yang mencakup aspek
kesehatan, sarana perhubungan, sanitasi lingkungan, dan air bersih. Kegiatan
ini akan lebih efektif bila dicanangkan secara nasional, dan untuk periode ini
target utamanya adalah wilayah-wilayah miskin yang berada di daerah perkotaan.
Hal ini mengingat bahwa di tahun-tahun mendatang, tekanan-tekanan di perkotaan
baik sebagai akibat urbanisasi maupun perkembangan pembangunan di kota akan
semakin meningkat.
c. Pelestarian
Fungsi Sumber Daya Alam
Sampai pada tahun 2020 kebanyakan penduduk miskin
diperkirakan masih akan bergantung pada sumberdaya alam. Masyarakat petani akan
menghadapi masalah serius yang sulit dipecahkan, yaitu kelangkaan tanah. Tanah
untuk kegiatan pertanian telah dan akan semakin menyempit sebagai akibat
konversi menjadi tanah non-pertanian seperti industri dan pemukiman.
Selain petani, nelayan merupakan kelompok masyarakat miskin
yang memerlukan perhatian. Salah satu langkah yang harus ditempuh untuk
mengatasi masalah masyarakat miskin di wilayah pesisir (nelayan) adalah
pengembangan sektor kelautan yang lebih memperhatikan keberlanjutan sumberdaya
pesisir dan lautan. (Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi NAsional Untuk
Pembangunan Berkelanjutan, Kameneg LH $ UNDP, Jakarta Maret 1997, Hal 16-18).
3.4.3.
Tujuan dan Output PNPM Mandiri Perdesaan Jawa
Tengah
Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya
kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan
mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
Tujuan
khususnya meliputi:
- Meningkatkan
partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau
kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan pelestarian pembangunan
- Melembagakan
pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya
lokal
- Mengembangkan
kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan
partisipatif
- Menyediakan
prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh
masyarakat
- Melembagakan
pengelolaan dana bergulir
- Mendorong
terbentuk dan berkembangnya Badan KerjaSama Antar Desa (BKAD)
- Mengembangkan
kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan
kemiskinan perdesaan
Keluaran atau output yang
diharapkan :
- Terjadinya
peningkatan keterlibatan Rumahtangga Miskin (RTM) dan kelompok perempuan
mulai perencanaan sampai dengan pelestarian
- Terlembaganya
sistem pembangunan partisipatif di desa dan antar desa
- Terjadinya
peningkatan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pembangunan
partisipatif
- Berfungsi
dan bermanfaatnya hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan bagi masyarakat
- Terlembaganya
pengelolaan dana bergulir dalam peningkatan pelayanan sosial dasar dan
ketersediaan akses ekonomi terhadap RTM
- Terbentuk
dan berkembangnya BKAD dalam pengelolaan pembangunan
- Terjadinya
peningkatan peran serta dan kerja sama para pemangku kepentingan dalam
upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan
3.4.4. Alokasi Dana Bantuan PNPM Mandiri Perdesaan Jawa Tengah
Provinsi
Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten, 6 kota, 564 kecamatan dan 8,564 desa.
Dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2008, jumlah lokasi yang telah dan sedang
menerima dana bantuan PPK adalah sebanyak 29 kabupaten, 322
kecamatan dan 5,073 desa. Total
dana BLM dari tahun 1998 sampai dengan 2008 adalah sebesar Rp 1,537,032,568,000
dan sampai dengan akhir tahun 2007 telah dicairkan sebesar Rp 1,075,182,568,000
(69,95%). Pada tahun 2008
terdapat dana BLM 2007 sebesar Rp 600,000,000 yang akan dicairkan dengan
mekanisme On Top dan terdapat BLM sebesar APBN Rp 369,000,000 dan APBD Rp
92,250,000.
Alokasi dana
bantuan PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2008 digunakan untuk mendanai 29 kabupaten, 224 kecamatan dan dikompetisikan di 3.536 desa yang berpartisipasi. Program ini memiliki cara pandang bahwa masyarakat sendirilah yang harus
menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan (decision makers) bagi
jenis-jenis kegiatan yang diusulkan masyarakat secara terbuka untuk dipilih
saat musyawarah. Kebebasan mengusulkan serta kebebasan untuk memutuskan inilah
yang harus diperkuat agar pola pembangunan partisipatif terus dipertahankan
dari waktu ke waktu, sehingga masyarakat merasa memiliki (sense of
belonging) kegiatan pembangunan yang ada di desanya.
3.4.5. Kegiatan Dana Bergulir
Salah satu
bentuk kegiatan yang didanai PNPM Mandiri Perdesaan adalah ”dana bergulir”.
Pengelolaan dana bergulir dilakukan oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang
berada di wilayah kecamatan. Ada dua jenis kegiatan, yaitu Usaha Ekonomi
Produktif (UEP) dan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP).
Bantuan modal
UPK sejak tahun 1998 sampai dengan 2008 adalah sebesar Rp 331.613.888.400,
dalam perkembanganya terjadi pertumbuhan asset sebesar Rp 471.517.598.450
(42.18%).
Berdasarkan
laporan Neraca UPK Provinsi Jawa Tengah per 30 Juni 2009, total dana kas yang
ada sebesar Rp 1.266.419.030; total bank sebesar Rp 73.084.828.910; Jumlah
pinjaman UEP yang ada di masyarakat sebesar Rp 186.203.257.355; SPP Rp.
216.517.160.828; biaya dibayar dimuka dengan nilai buku sebesar Rp.
899.909.077; sehingga dengan demikian Aktiva
Lancar yang dimiliki adalah sebesar Rp. 477.671.130.440,- . Sedangkan Nilai buku inventaris sebesar
Rp. 6.198.907.905; Alokasi Desa untuk kegiatan sarana prasarana, pendidikan,
kesehatan, jenis kegiatan lain dan biaya operasional desa yang masih dalam
Proses (masih dalam pengerjaan atau belum diserahterimakan) sebesar Rp.
108.279.298.459; dan Alokasi Desa Serah Terima (untuk seluruh kegiatan selain
kegiatan ekonomi yang telah diserahterimakan) sebesar Rp. 1.095.778.747.944;
dengan demikian Aktiva Tetap
yang dimiliki sebesar Rp.
1.210.256.954.308,-. dan Aktiva
Lain-lain (Rupa-rupa aktiva) sebesar Rp. 899.909.077,-. Dengan demikian
Jumlah Total Aktiva yang
dimiliki sebesar Rp
1.688.827.993.825,-.
Dalam neraca
juga tercatat Kewajiban Jangka Pendek
(hutang) sebesar Rp. 7.592.993.862,-
dari bulan sebelumnya sebesar Rp. 8.425.440.570,-.. Hutang ini merupakan
alokasi dari pembagian laba/surplus berjalan tahun 2008 yang belum disalurkan,
yaitu untuk pengembangan kelembagaan UPK dan kelompok, dana sosial bagi warga
masyarakat yang miskin (RTM) dan lain-lain; Ekuitas (Dana BLM) sebesar Rp.
1.541.595.036.675,- yang berasal dari alokasi dana BLM PPK 1, PPK 2,
Matching Grant, PPK 3, PNPM-PPK 2007, PNPM Mandiri Perdesaan 2008 dan Dana
Hibah dari pihak ketiga.; Laba Ditahan
sebesar Rp. 109.115.302.061; dan
Laba Berjalan sebesar Rp. 30.524.661.227,-. Sehingga Total Pasiva yang dimiliki sebesar Rp. 1.688.827.993.825,-.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1.
Kemiskinan di Jawa Tengah setiap
tahunnya mengalami penurunan. Namun penurunan tersebut lambat. Sebaran penduduk
miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukkan bahwa masih
terdapat 15 kabupaten dengan angka kemiskinan di atas rata-rata provinsi dan
nasional, sehingga masih perlu upaya percepatan penurunan.
2.
Anggaran pemerintah yang
digunakan untuk menanggulangi kemiskinan selama kurun waktu 2008 sampai 2012
mengalami peningkatan yaitu 931.728.000 rupiah di tahun 2008 menjadi
1.466.256.000 rupiah di tahun 2012. Namun peningkatan anggaran yang banyak
tidak diimbangi dengan penurunan kemiskinan yang cepat.
3.
Berbagai
kebijakan yang dikeluarkan lembaga pemerintah ternyata tidak mampu menurunkan
angka kemiskinan secara signifikan. Permasalahan utamanya terletak pada
struktur kelembagaan pemerintah yang ternyata tidak mampu menyentuh realitas
kemiskinan yang sebenarnya. Kebijakan dan kelembagaan pemerintah tidak bisa
terlepas dari pengaruh lembaga-lembaga global yang secara tidak langsung ikut
menciptakan kemiskinan di Indonesia. Program-program yang telah ditetapkan dan
bersifat top down, mulai dari kelembagan internasional sampai pada
pemerintah nasional inilah yang kemudian membuat realisasi kebijakan banyak
yang tidak tepat sasaran dan tidak bisa mengetahui kebutuhan rakyat yang
sebenarnya.
5.
Salah satu program penanggulangan
kemiskinan di Indonesia adalah PNPM Mandiri Perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan
adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan
berkelanjutan. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya
kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan
mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
5.1. Saran
- Pemerintah secara kelembagaan dan pembuatan
kebijakannya seharusnya lebih melibatkan masyarakat secara partisipatif
dan tidak hanya meletakkan permasalahan kemiskinan sebagai obyek.
Pemerintah seharusnya lebih memahami persoalan kemiskinan sebagai sebuah
kompleksitas proses sosial yang tidak hanya bisa diselesaikan melalui
suatu bentuk kebijakan tanpa memahami spesifikasi dan lokalitas masyarakat
Indonesia yang berbeda-beda. Startegi kebijakan dalam mengatasi kemiskinan
tidak hanya bisa dilihat dari satu dimensi saja melainkan juga berusaha
untuk melihat secara menyeluruh terhadap semua aspek yang bisa menyebabkan
kemiskianan secara lokal.
- Pemerintah cenderung memberi bantuan secara
instan kepada masyarakat miskin, oleh karena itu kebijakan tersebut justru
tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada.
Sebaiknya pemerintah menggerakan pemberdayaan masyarakat miskin, sehingga
mereka mempunyai bekal hidup dalam jangka panjang bukan hanya pada saat
diberi bantuan instan saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Algifari.
1997. Analisis Regresi. Yogyakarta :
BPFE - Yogyakarta
Arsyad,
Lincolin.1997. Ekonomi Pembangunan, Edisi
ketiga.Yogyakarta: STIE-
YKPN
Badan Pusat Statistik. Data
Jumlah dan Persentase Penduduk Miksin Indonesia
2008-2012. Jakarta
_________________. Jawa
Tengah Dalam Angka Berbagai Tahun Terbitan. Jawa Tengah
_________________.Pendapatan
Domestik Regional Bruto Berbagai Tahun
Terbitan.
Jawa Tengah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milineum Di Indonesia 2011.
Republik Indonesia
Bank Indonesia. 2012. Statistik
Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Tengah Berbagai tahun. Jawa Tengah.
Bapeda. 2013. Rancangan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun
2013-2018. Jawa Tengah
Gujarati,
Damodar N. 2010. Dasar – dasar
Ekonometrika. Jakarta : Salemba Empat
http://pnpmjateng.blogspot.com/.
Diakses 06 Januari 2015.
Kuncoro,Mudrajad. 2006. Ekonomika
Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta : Unit Penerbit dan
Percetakan (UPP) STIM YKPN RPJMD Jawa Tengah. 2013. Jawa Tengah
Sukirno,
Sadono. 2011. Makroekonomi. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada
Sarsetyono,Y. 2014.
Meningkatkan Pemberdayaan Dan
Partisipasi Masyarakat Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Semakin Sejahtera Di
Jawa Tengah. Majalah Ilmiah Pawiyatan Vol : Xxi, No : 1, Maret 2014 . Fptk Ikip Veteran Semarang
Tambunan,
Tulus. 2011. Perekonomian Indonesia.
Bogor : Ghalia Indonesia
Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). 2011. Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SKPD) Jawa Tengah.
Jawa Tengah
Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ Diakses 20 April 2014
Todaro,
Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan
Ekonomi. Jakarta:Erlangga
www.djpk.depkeu.go.id. Diakses
20 Juli 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar